Dr. Hj Erma Pawitasari, M.Ed
dari http://www.suara-islam.com
Perkembangan pengajaran calistung disertai dengan tes-tes bagi anak-anak
Playgroup dan TK sudah pada level mengkhawatirkan. Bila dulu, anak-anak
cukup membeli buku persiapan UMPTN (masuk perguruan tinggi), diikuti
dengan buku persiapan Ebtanas (setara Ujian Nasional),
sekarang sudah banyak terbit buku-buku untuk persiapan tes masuk SD,
seperti “Aku Siap Masuk SD” dan sejenisnya. Lebih jauh lagi, anak bayi
pun sekarang sudah harus giat belajar menghadapi persaingan masuk TK
sehingga banyak terbit buku-buku persiapan masuk TK, seperti “Sukses
Masuk TK”, “99,99% Diterima Masuk TK Favorit”, dan “Lolos Tes Masuk TK.”
Bola liar
calistung ini membuat Mendikbud, Dr. Muhammad Nuh, membuat pernyataan
publik pada acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) di
Depok, 11 Januari yang lalu. Beliau menegaskan bahwa mengajarkan
calistung adalah kewajiban SD, bukan PAUD. Anak yang akan masuk sekolah
tidak boleh dituntut sudah menguasai calistung [Situs resmi PAUD
Kemdikbud RI].
Pernyataan Mendikbud ini
sesuai dengan aturan hukum yang diatur dalam Permendiknas RI No. 58
TAHUN 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Ada 4 tingkat
pencapaian terkait dengan kemampuan calistung bagi anak usia 4-6 tahun,
yaitu:
1. Pura-pura membaca cerita bergambar dalam buku dengan kata-kata sendiri.
2. Berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, serta
mengenal simbol-simbol untuk persiapan membaca, menulis dan berhitung.
3. Membaca nama sendiri.
4. Menuliskan nama sendiri.
Berdasarkan Permendiknas ini, kemampuan tertinggi yang diharapkan dari
lulusan TK adalah membaca dan menulis namanya sendiri. Inipun cukup nama
pendek, sekedar mengenali namanya dan memberi nama lembar kerjanya.
Untuk mendukung aturan ini, Dirjen Dasmen mengeluarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 Perihal :
Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru
Sekolah Dasar. Ada 3 hal yang ditekankan dalam surat edaran ini, yaitu:
1. Pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung.
2. Pendidikan di TK tidak diperkenankan memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada anak didik dalam bentuk apapun.
3. Setiap sekolah dasar (SD) wajib menerima peserta didik tanpa melalui tes masuk.
Menurut aturan pemerintah, Sekolah PAUD yang mengajarkan materi
calistung secara langsung dan SD yang mengadakan tes penerimaan murid
justru telah melakukan pelanggaran. Hal ini harus disosialisasikan ke
seluruh PAUD dan orang tua murid sehingga bersama-sama mematuhi aturan
dan tidak memaksa anaknya menguasai calistung pada usia dini.
Mengapa pemerintah melarang pengajaran calistung secara langsung? Apa
ruginya anak belajar calistung? Bukankah hal ini membantunya menguasai
pelajaran SD? Bukankah makin terpakai otak, makin meningkat
kecerdasannya?
Secara ringkas, pertanyaan-pertanyaan di atas telah dijawab oleh
Direktur PAUD Kemdikbud, Sudjarwo Singowijoyo. Beliau mengatakan:
Memaksa anak usia di bawah lima tahun (balita) menguasai calistung
dapat menyebabkan si anak terkena 'Mental Hectic’, yaitu anak menjadi
pemberontak.
Penyakit itu akan merasuki anak di saat kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar (SD).
Memaksakan anak menguasai calistung pada usia dini justru akan merusak
kecerdasan mentalnya. Ia mungkin tampak jenius secara kognitif, namun
fungsi otak lainnya akan terganggu. Otak manusia tidak hanya berfungsi
untuk mengolah informasi kognitif, namun juga nalar dan karakter
(akhlaq). Apabila kemampuan nalar dan akhlaq rendah, maka kemanusiaan
akan jatuh pada titik nadir.
Apakah anak usia dini sama sekali dilarang belajar calistung? Belajar
calistung secara tidak langsung diperbolehkan. Contohnya adalah:
- melihat ibunya menghitung gelas untuk menjamu tamu
- melihat kakaknya menikmati membaca buku
- menghitung jumlah anggota dalam sebuah permainan kelompok
- dsb.
Sebagai penutup, mari kita renungkan hadits Nabi SAW, “Perintahkanlah
anakmu untuk sholat pada usia 7 tahun.” Sholat adalah urusan yang paling
penting. Sholat adalah tiang agama. Untuk urusan terpenting saja, Nabi
menyuruh kita menunda hingga anak mencapai usia 7 tahun. Padahal, apa
salahnya menyuruh anak sholat sejak usia dini?
Keimanan kita kepada Allah dan Rasul membuat kita yakin bahwa apa-apa
yang diperintahkan/dilarang adalah yang terbaik. Bila menyuruh anak
sholat sejak usia dini memiliki efek positif, tentu Nabi akan
mewasiatkan untuk mengajak anak-anak sholat sejak usia dini. Namun, Nabi
justru membiarkan cucu-cucunya bermain di punggung beliau saat beliau
mengimami sholat berjamaah di masjid. Demikian pula dalam hal belajar
bidang-bidang lainnya. Pelajaran secara formal/langsung, baru boleh
dilakukan ketika anak berusia 7 tahun. Sebelum usia itu, biarkan
kanak-kanak menikmati canda tawanya, tanpa beban yang akan merusak
akhlaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar