Selasa, 29 April 2014

Alasan lain mengapa anak TK dilarang baca tulis dan hitung


Pertanyaan dari bapak ANH:
Apa dengan tidak mengajarkan ke anak (Calistung) di usia emas nya itu berarti memanjakankan anak yang memiliki kemampuan akademisnya…..
Kita khan bisa menyelipkan huruf2 ato angka2 dalam proses bermain anak. Kalau mereka mampu kenapa tidak diteruskan (kemampuan otak anak juga berbeda-beda ada yang mudah nangkap dan ingatannya tajam dan ada juga yang tidak khan Bu…..)

Jawaban:
Jd begini Pak, kami menyadari bahwa mayoritas orang Indonesia itu tdk memahami perkembangan otak anak, hal itu mengakibatkan para ortu salah mengasuh dan para guru salah mendidik. Dan apa akibatnya dr salah2 itu? Kita bisa lihat orang tua yg seharusnya sdh dewasa bertingkah spt anak2. Banyak. Contoh gampangnya anggota DPR kita yth. Tingkahnya persis anak TK. Kerja nggak bener tp minta imbalan lebih, nggak dikasih ma rakyat tp malah ngelunjak.

Contoh ke-2, kita lebih banyak mencetak insan2 bermental pegawai bukan visioner, bukan pakar/ahli dibidang masing2, bukan orang2 yg bermental pengusaha pembuka lowongan kerja. Rakyat Indonesia tdk suka mengambil resiko kegagalan, pilih jd pegawai krn tenang mendapat gaji bulanan tp ketika di PHK kelabakan nggak punya keterampilan.

Contoh ke-3, kita terbiasa mengapresiasi rangking teratas (5/10 besar), nilai sempurna (80-100) kita jarang mengapresiasi kerja keras mereka dalam belajar. Padahal ada anak yg sudah belajar mati2an tapi mereka tetep gak dpt nilai bagus gak dapet rangking krn kemampuan mereka tdk sama dan bakat mereka pun beda2. Akibatnya? ketika UN sekolah melakukan kecurangan diamini oleh ortu (sdh terjadi bukan?) Kalau anak2 kita terbiasa dihargai kerja kerasnya bukan angka atau nilainya semata, mereka pasti menolak disuruh curang, karena mereka PD dengan hasil usaha belajarnya sendiri, tapi nyatanya…buanyakkk anak2 itu yg melaksanakan perintah memalukan itu. Dan kita sekarang pun memiliki pahlawan cilik kejujuran segala.

Para ahli otak di dunia termasuk di Indonesia semacam Indonesian Neuroscience Society sdh lama melakukan penelitian bahwa: otak anak2 itu belum berkembang sempurna(matang) hingga dia berusia 20-25th! stlh sempurna baru mereka dianggap yg namanya “Dewasa”. Bayangkan!

Otak kita dibagi 3: batang otak (diatas leher), limbik (kepala bg belakang), dan pre frontal cortex/PFC (kepala bag depan/di jidat). Perkembangan ketiganya itu pun sesuai dng urutan diatas. Jd PFC itulah yg terakhir berkembang dng sempurna dan yg menandakan seseorang mjd dewasa. Kita pasti sdh familiar dengan kisah Rosulallah yg ketika mengimami sholat beliau sujudnya lamaaaa sekali. Lalu para sahabat bertanya: “kenapa lama? apakah Rosulallah sedang menerima wahyu dr Allah SWT?” Rosul menjawab:”tidak, cucuku tadi menaiki punggungku”. Jd beliau menunggu sampai cucunya turun dr punggungnya. Beliau tdk memberi isyarat pd cucunya unt turun. Tak spt kita, kalau kita paling dicubit itu anak hahaha.. benar bukan?  Apa yg kita petik dr kisah diatas? Rosul lebih mementingkan/mendahulukan cucunya yg sedang bermain2 ketimbang ibadahnya! Subhanallah…!

Dan apa hubungan kisah diatas dengan perkembangan otak?
Sambungan otak anak2 itu belum sempurna, otak mereka baru siap menerima hal2 kognitif pada usia 7-8 th. Sebelum usia itu, dunia mereka yg pantas adalah hanya bermain, bermain dan bermain. Dan mereka PUN tidak boleh DIMARAHI. Allahuakbar! Sebelum ada ahli otak yg meneliti, Rosulallah sudah menerapkan hal itu pada cucunya!

Lalu apa akibatnya kalau masa2 usia bermain mereka direnggut untuk belajar hal2 yg kognitif? –> Dewasanya kelak mereka bertingkah spt anak kecil: suka mengurung burung demi kesenangannya sendiri, sakit2an karena ingin diperhatikan orang2 sekitarnya, spt anggota DPR yg saya tuliskan di atas, korupsi demi kepentingan diri sendiri/keluarga/golongan dan tdk merasa bersalah malah ngeles terus di pengadilan, dannn sikap kekanak2an lainnya
Kalau kita ingin membuktikannya, ada ciri2 yang mudah kita lihat bahwa perkembangan otak anak2 belum siap untuk menerima hal2 kognitif :
  1. ketika kita membacakannya sebuah cerita/dongeng mereka akan meminta kita mengulanginya lagi, lagi dan lagi. Kita yg tua sampai bosen tp dia tak pernah bosen mendengar cerita kesukaannya itu diulang2 berkali-kali berhari-hari.
  2. mereka yg antusias belajar membaca lalu bisa, tapi mereka tidak paham dengan apa yg mereka baca.

Silahkan dipraktikkan.
Kalau mereka hari ini minta dibacakan cerita A besok minta cerita B besoknya lagi C esok lagi D dan kalau mereka sdh paham dengan apa yg dibacakan, artinya otak mereka sdh siap menerima hal2 yg kognitif.
Lalu apa yg seharusnya kita ajarkan pada mereka (0-7/8th)?
  1. JANGAN DIMARAHI
  2. TIDAK DIAJARKAN MEMBACA, MENULIS, MENGHITUNG.
  3. Bermain role play; memahami bahasa tubuh, suara dan wajah; berbagi hal yg memberikan pengalaman emosional, field trip, mendengarkan musik, mendengarkan dongeng,
  4. Bahkan, anak usia 0-12th pengasuhan dan pendidikannya ditujukan untuk membangun emosi yg tepat, empati, (mood & feeling)

Jadi, aturan pemerintah tentang usia masuk SD harus minimal 7th itu bukan tanpa alasan. Tentu boleh2 saja menyelipkan angka dan huruf, tapi tidak belajar membaca dan menulis dan menghitung. Mudah nangkep & ingatannya tajam atau tidak bukanlah ukurannya. Bagaimana dengan tidak mengajarkan anak calistung di usia emas diartikan kita memanjakan anak? wong dia belum bisa mikir itu sudah waktunya dipelajari atau belum :) Usia emas itu jualannya susu Formula Pak.. :) Usia emas semestinya kita artikan sebagai masa2 tumbuh kembang anak yg paling pas untuk kita tanamkan budi pekerti dan akhlak yg mulia.

Slogan TK: bermain sambil belajar, belajar seraya bemain JANGAN diartikan dng BELAJAR calistung.
Para peneliti otak diseluruh dunia sepakat bahwa PFC seorang anak belum siap untuk dijejalkan hal2 yg kognitif. Apa akibat dr pemaksaan terhadap hal2 kognitif?
- membuat anak tidak mampu menunjukkan emosi yg tepat.
- kendali emosi (intra personalnya terganggu)
- sulit menunjukkan empati.

Sudah banyak ortu yg mengeluhkan: anak2nya ketika masih usia dini sangat antuasias belajar CALISTUNG lalu ortunya merespon dengan memberikan porsi lebih banyak entah mengajari sendiri secara intensif atau memasukkannya ke les2 calistung daaannnn ujung2nya datang pada satu masa anak2 itu bosan lalu akhirnya mogok belajar mogok sekolah. mereka menjadi malas. Itu terjadi karena otaknya yg terforsir sudah kelelahan. Bahkan ada yg saat mau ujian malahan blank, nggak bisa mikir sama sekali.

Tenang, Pak… kita hanya perlu waktu 3 bulan untuk melatih seorang anak bisa metematika, namun diperlukan waktu lebih dari 15 tahun untuk bisa membuat seorang anak mampu berempati, peduli teman dan lingkungan serta memiliki karakter yang mulia untuk bisa menciptakan kehidupan yang lebih baik. Ini sudah terbukti.

Jadi sudah sangat jelas alasan saya tidak setuju dengan diadakannya lomba calistung untuk anak TK dan sederajat di Madrasah kita. ahh belum lagi efek kejiwaan yg dihasilkan pd anak2 itu karena mengikuti lomba2 terlalu dini apalagi calistung. Sudah terlalu panjang, kapan2 Insyallah saya tulis jg disini.

Wassalam.

*Pengetahuan yg saya tulis diatas saya dapatkan (sarikan) dari hasil mengikuti seminar2 parenting ibu Elly Risman, Psi dan talkshow2 serta tulisan2 Ayah Edy.

*Ini saya lampirkan Surat Edaran Dirjen Mandikdasmen tentang larangan Calistung pada PAUD dan larangan ujian/tes untuk masuk SD. Silahkan di download. Bisa ditunjukkan pada sekolah yg memberlakukan syarat tes calistung untuk masuk SD dan sederajat.

 disalin dari yani.widianto.com

Sabtu, 26 April 2014

Perbandingan pemikiran Immanuel Kant dan Ibnu Taimiyah


Tuhan membantu negara yang adil meskipun kafir,
dan tidak membantu negara yang zhalim meskipun beriman
.”
Ibnu Taimiyah   



 

"Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain
yang tujuannya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil.”

Immanuel Kant
======================


Membicarakan tentang pemikiran politik Islam dan Barat seperti membicarakan kakak-beradik yang telah lama terpisah jauh. Pada awalnya mereka berasal dari rahim yang sama, kemudian berkembang dalam lingkungan dan tradisi yang berbeda, dan berakhir dengan perjumpaan yang hangat dan saling merindukan.
Kedua budaya ini – Islam dan Barat – sama-sama mempunyai ide-ide tertentu, yang kadang-kadang dikemukakan dalam bahasa yang sungguh serupa, lantaran warisan yang sama dari monoteisme Ibrahimi dan filsafat Yunani. Tetapi, keduanya diekspresikan dalam konteks sosial dan intelektual yang sama sekali berbeda, dan dengan makna yang sangat berbeda. Islam sama sekali tidak mengenal tradisi politik Romawi, sementara Eropa sama sekali tidak mengenal tradisi politik Indo-Iran. Dunia Islam melahirkan banyak pemikiran yang orisinal dan tajam. Sejarah pemikiran politik Islam memperlihatkan kepada kita sebuah tradisi intelektual yang unik. Apa yang kita saksikan adalah hubungan antara agama dan politik. Islam muncul sebagai sebuah agama yang bertekad untuk menundukkan dan mengubah dunia.

Di sisi lain, dunia Barat selalu mengagung-agungkan rasionalitas dan akal. Pemikiran politik Barat praktis mendominasi semenjak keruntuhan kekuatan gereja Katholik dengan sebuah endorsement perjanjian Westphalia 1648 yang meletakkan kekuatan negara-bangsa sebagai sandaran loyalitas utama suatu masyarakat. Sejarah membawa Barat menuju sekularisasi besar-besaran; secara gradual agama kemudian melangkah menjauh dari ranah politik.

Kini dalam paper ini, pemikiran politik dari kedua dunia kembali berjumpa dalam sebuah dialog pemikiran politik. Ibnu Taimiyah (1263-1328) menjelaskan dengan sangat gamblang ide-ide tertentu yang mungkin secara logis dianggap sebagai inti pemikiran politik Islam. Dialah adalah satu-satunya teoritisi politik dari wilayah bulan sabit untuk waktu yang sangat lama.

Ibnu Taimiyah mendapatkan banyak pengikut di kalangan rakyat jelata. Kecaman-kecamannya menggoyahkan stabilitas publik, sehingga ia harus berkali-kali hidup di balik terali besi. Meski demikian, ia pernah diangkat menjadi juru khutbah dalam sebuah peperangan, yang di dalamnya ia secara pribadi mengorbankan perlawanan terhadap invasi Mongol di Suriah (1300-1301). Dia menghabiskan dua tahun terakhirnya di penjara (1326-1328). Kesempatan itu ia gunakan untuk menulis, sehingga sipir penjara merampas pena dan kertasnya.3 Karya utama Ibnu Taimiyah dalam politik adalah al-kitab al-siyasah al-syar’iyyah (buku tentang Politik Berdasarkan Syariat, ditulis pada 1311-1315).

Sementara, Immanuel Kant (1724-1804) merupakan salah satu tokoh pencerahan Eropa pada abad ke-18. Kontribusinya pada pergerakan politik masih bisa ditemukan sampai dewasa ini. Kant berangkat dengan memperkenalkan secara filosofis martabat manusia (human dignity) atau hak sebagai manusia yang menjadi dasar dari hak asasi lainnya. Hak sebagai manusia berarti kebebasan individu dan kesetaraan. Prof Dr Matthias Lutz Bachmann dari Universitat Frankfurt Am Main, Jerman, mengungkapkan:
“Dengan gagasan filosofisnya, yakni bentuk republik, federasi negara-negara merdeka, dan keramahtamahan universal (cosmopolitan right), tujuan politik Kant adalah membuat kedamaian abadi antara individu dan antarnegara.”4

Perbandingan pemikiran politik ini tidak hanya bertujuan untuk menarik garis perbedaan menjadi semakin lebar, tapi lebih dari itu mencari persamaan-persamaan dari kedua pemikiran dari kedua “kakak-beradik” yang sudah sudah lama berpisah ini. Perbandingan yang dimaksud didasarkan pada esai yang ditulis Kant tahun 1784, “Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View" yang menyebutkan sembilan prinsip kosmopolitanisme.

Meminjam pendapat Antony Black, kita tidak mengerti bagaimana mungkin seseorang mengklaim telah memahami sejarah pemikiran yang berkembang di suatu budaya padahal ia tidak meneliti apa yang sedang  terjadi di lingkungan budaya lain.

Tidak seorang pun bisa menjelaskan suatu fenomena apa pun tanpa merujuk pada berbagai hal yang terjadi di luar fenomena itu”6.
Ringkas kata, paper ini merupakan awalan dari usaha untuk memandang lebih jernih teori ilmu politik dari kedua mata, Islam dan Barat.

Pemikiran Kosmopolitanisme Immanuel Kant
Immanuel Kant terkenal dengan gagasan kosmopolitanisme yang berusaha menjawab permasalahan yang timbul dari kekacauan dunia yang bersekat dan distribusi sumber daya yang mandek di perbatasan Negara. Definisi sederhana kosmopolitanisme adalah kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan prinsip-prinsip imperatif universal.

Secara umum kosmopolitanisme dapat diartikan sebagai kesetaraan nilai moral pada seluruh manusia dan tanggung jawab moral yang tidak terbatas hanya pada garis perbatasan Negara; perlindungan terhadap hak asasi manusia; distribusi sumber daya alam secara global, dan mewujudkan kosmopolitan demokrasi yang dianggap sebagai demokrasi yang otentik.

Kosmopolitanisme Kant dapat tergambar melalui esainya yang berjudul Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View. Pada esainya yang terkenal ini, Kant berusaha menjelaskan kosmopolitanisme sebagai akhir dari perjalanan sejarah umat manusia dalam sembilan poin.
Pertama, semua kapasitas alam diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi akhir alam itu sendiri. Kedua, semua kapasitas alam digunakan oleh manusia sesuai dengan akalnya untuk dikembangkan hanya dalam kelompok bangsa (race), tidak oleh perseorangan (individual).

Dalam mewujudkan gagasan kosmopolitanismenya, Kant masih tetap menyandarkan proyeknya pada peran Negara, tetapi dengan komitmen yang kuat untuk mewujudkan nilai-nilai kosmopolit. Menurut Ian Adams, Kant adalah salah seorang filsuf Jerman yang terpengaruh oleh revolusi Perancis. Ia terinspirasi oleh harapan-harapan tinggi revolusi, sementara takut dengan perjalanan peristiwanya.

Kosmopolitanisme Kant lebih menekankan pada kesesuaian antara tindakan dengan hukum. Kant menilai tidak perlu merombak struktur institusi Negara yang sudah ada sekarang, tapi lebih menitikberatkan pada  kosmopolitanisme moral. Dengan kata lain, Kant memandang penting peran Negara-negara dalam pengelolaan kapasitas alam dan memilih untuk memperbaiki ruh dari Negara-negara agar lebih mengedepankan komitmen pada perlindungan hak asasi dan jaminan keamanan manusia.

Ketiga, Alam mengharuskan manusia memproduksi berdasarkan insting kebinatangannya yang diciptakan sesuai dengan akal. Alam tidak melakukan semuanya dengan kesia-siaan. Dia memberikan kepada manusia akal dan kebebasan berkehendak untuk mencermati tanda-tanda dari kehendak Alam itu sendiri.

Keempat, manusia dalam mengembangkan kapasitas alam melahirkan “antagonisme”. Maksudnya adalah manusia pada satu sisi merasa menjadi bagian dari kelompok itu, sementara pada sisi lain berhasrat ingin memiliki semua kapasitas alam menjadi milik pribadinya. Sikap seperti ini pada akhirnya, mengharuskan masyarakat yang menjunjung tinggi hukum sesama.

Kelima, permasalahan terbesar manusia adalah mencapai masyarakat madani secara universal (universal civic society) dimana hukum mengatur mereka.

Keenam, masalah di atas paling sulit dan akan menjadi yang terakhir diselesaikan oleh umat manusia. Kehendak alam yang paling puncak adalah masyarakat universal yang hanya bisa dicapai oleh umat manusia dengan mengorbankan semua kapasitas dan hanya bisa dicapai melalui masyaakat yang menjunjung tinggi kebebasan. Pada prinsip kelima dan keenam ini gagasan kosmopolitanisme Kant mulai nyata. Ia berpendapat mewujudkan masyarakat kosmpolit yang universal adalah tugas purna sejarah manusia.

 Ketujuh, masalah di atas sangat tergantung pada masalah hukum hubungan di antara Negara-negara dan tidak akan bisa diselesaikan tanpa solusi dari permasalahan tersebut.

Kedelapan, Negara yang memiliki konsititusi sempurna adalah kondisi dimana kapasitas umat manusia dapat sepenuhnya dikembangkan dan mendorong hubungan eksternal antarnegara sampai pada akhirnya.
Kesembilan, usaha filosofis harus ditempuh untuk mewujudkan sejarah universal umat manusia sesuai dengan kehendak Alam.

Kant percaya bahwa esensi kebebasan terletak pada otonomi moral, pada kemampuan rakyat untuk hidup menurut aturan yang mereka buat sendiri. Maka untuk benar-benar bebas, tidaklah sekedar mengejar kepentingannya sendiri, tetapi bertindak menurut kewajiban moral yang didefinisikannya sendiri, meskipun ia juga memiliki kepentingan pribadi.

Kant menyandarkan upaya mewujudkan sejarah universal kosmopolit pada ide. Ide menjadi satu-satunya pijakan dalam mengetahui bagaimana Alam bekerja, jika mata manusia terlalu buta untuk mengetahui bagaimana sistem Alam ini bekerja. Upaya-upaya perubahan menuju kosmopolitan harus ditempuh dengan cara-cara filosofis yang mengandalkan pemikiran atau ide. Sehingga semakin hari, manusia akan semakin dekat menuju cita-cita yang diidamkan dan semakin jelas mengungkap rahasia Alam, yaitu sejarah manusia yang universal. Kant selalu mengedepankan pendekatan filosofis dalam setiap pemikirannya, pun dalam proyek kosmopolitan ini.

Secara ringkas, pemikiran Kant dalam sembilan poin Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View berusaha membantu umat manusia dalam mengenali rahasia Alam yang paling purna dan Alam menisbatkan itu sebagai tujuan akhir sejarah umat manusia, yaitu masyarakat universal (universal civic society). Dalam mencapai tujuan akhir itu, menurut Kant, manusia hanya bisa mencapainya melalui negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kosmopolitanisme, seperti keadilan, kebebasan, HAM, dan jaminan keamanan manusia.

Kosmopolitanisme Taimiyah
Dalam setiap pemikirannya, Taimiyah selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan utama berpikir, pun dalam kosmopolitanisme. Untuk gagasan kosmopolitanisme, Taimiyah kembali berpatokan pada ayat Al-Quran (Al-Anbiya: 107) bahwa Islam sebagai kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).

Dalam pemerintahan syariat yang dicita-citakan oleh Taimiyah, nilai terpenting yang harus dijaga adalah keadilan dan mempromosikan kebaikan-mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Dalam aspek politik dan kenegaraan, secara radikal, Taimiyah lebih memenangkan gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya, termasuk keimanan agama seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah “lebih baik dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin muslim yang dzalim.”

Jelas sekali pendapat Taimiyah ini sangat kosmopolit dengan memandang manusia sebagai individu yang merdeka terlepas dari agama, ideologi, asal negara, dan ikatan-ikatan tradisional lainnya.
Bermula dari pendapat mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan keimanan ini, Taimiyah melanjutkan lebih jauh tentang peranan Negara dalam proyek kosmopolitanisme. Taimiyah mengemukakan tugas utama Negara adalah tegaknya syariat yang tidak lain demi tegaknya keadilan universal.

Pemikiran Ibnu Taimiyah tentang Institusi Negara
Dalam memandang pentingnya berkelompok dalam mengelola kapasitas alam, Kant dan Taimiyah bertemu pada titik yang sama. Kant dan Taimiyah sama-sama menganggap pentingnya kelompok dalam pengelolaan kapasitas alam. Lebih jauh lagi, pengelolaan sumber daya alam harus melalui kelompok yang kemudian akan melahirkan institusi negara. Taimiyah terkenal dengan gagasan organis dalam memandang institusi. Ia menekankan dengan sangat keras pentingnya institusi dalam pengelolaan masyarakat untuk mencapai keadilan.

“Manusia pada dasarnya berwatak madaniy (suka membangun). Itulah sebabnya jika mereka berkumpul, pastilah mereka mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan dan mengatasai persoalan. Untuk kepentingan itu, diperlukan kerja sama yang padu antara pemerintah (ruler) dan anggota masyarakat (ruled). Tentu saja diperlukan ketentuan-ketentuan yang defenitif yang mengatur tugas dan ruang gerak masing-masing.”

Hanya saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga Hisbah yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi perekonomian dan pasar. Lembaga Hisbah adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam bidang perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Taimiyah menekankan prinsip keadilan sebagai penopang lembaga Hisbah dalam pemerintahan Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan Tuhan.
Untuk mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan sebagaimana yang Kant maksudkan, Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh Negara. “Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk delik meninggalkan kewajiban maupun delik mengerjakan larangan.”

Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah membangun pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah syari’iyyah). Syariat dalam pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).

Pemimpin menurut Taimiyah
Dalam Islam apa yang kita sebut sebagai jabatan dan aktivitas politik termasuk dalam kategori “amanat” dan “tugas publik (waliyat)” seperti yang dipahami dalam syariat. Karena itu, seorang penguasa politik wajib “menyampaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil” (QS. An-Nisa [4]: 61-62). Tujuan semua tugas publik (waliyat) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia.

Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa posisi kepemimpinan politik (sultan, mulk, amir) dan syariat saling melengkapi satu sama lain untuk membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan syariat. Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai “kecuali dengan kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam).” Pendapatnya yang terkenal adalah “agama tanpa kekuasaan, jihad, dan harta, sama buruknya dengan kekuasaan, harta, dan perang tanpa agama.”

Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, tegaknya keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerjasama. Manusia berkumpul dan membentuk sebuah komunitas politik, kemudian menunjuk salah seorang sebagai pemimpin untuk mengorganisir untuk mewujudkan keadilan dan kebermanfaatan bersama.
Seorang pemimpin tidak menetapkan tujuan mereka sendiri, melainkan memiliki otoritas untuk bertindak dan dipatuhi, karena mereka tengah (atau semestinya) berusaha mewujudkan tujuan-tujuan Islam.
Doktrin pemimpin dalam Islam adalah tidak lain merupakan wali, wakil, dan agen otoritas, sama sekali bukan pemilik. Inilah maksud bahwa pemimpin adalah penggembala, yang tidak memiliki hewan gembalaannya; kedudukannya seperti wali bagi anak yatim. Di sini, citra raja absolut Timur Tengah dan Iran kuno benar-benar diislamkan. Otoritas pemimpinnya, sesungguhnya berasal dari Tuhan; namun hal ini berarti bahwa kepentingan-kepentingan yang wajib ia upayakan sesungguhnya merupakan kepentingan-kepentingan rakyatnya.

Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasa-penguasa yang korup adalah yang paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban untuk patuh pada mereka, dan ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia yang mendukung penguasa-penguasa yang tidak mengindahkan agama dan melakukan penyelewengan dan membuat syari’at tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan. Mereka telah dianggap mengingkari prinsip-prinsip syari’ah. Tapi di lain sisi Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika dihadapkan tentang ada dan tidak adanya pemimpin dalam sebuah negara. Menurut Ibn Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, adanya seorang kepala negara merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak terelakkan. Pendapatnya yang kontroversial dalam buku As-Siyasah Asy-Syariah adalah “Lebih baik 60 tahun diperintah oleh pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari tanpa pemerintahan.”14

Bentuk negara menurut Taimiyah
Cukup menarik, sekalipun Ibnu Taimiyah selalu menekankan kekuasaan politik, negara, dan pemerintahan dalam kehidupan masyarakat, tetapi Taimiyah meragukan validitas pendapat bahwa kekhalifahan berasal dari sumber agama (Al-Quran dan As-Sunnah). Suatu pemikiran ekstrem yang menentang arus pemikiran teori kekhalifahan yang sangat sakral pada masa itu.

Ibnu Taimiyah juga mengkritik Sunni dan Syiah. Menurut pandangannya, tidak ada dasar dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentang teori kekhalifahan tradisional ala Sunni dan tidak ada teori imamah Syiah yang mutlak. Ia melihat Islam sebagai suatu tata sosial yang mempunyai hukum tertinggi: hukum Allah. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik pada negara dan formasinya. Meskipun menerima negara itu sebagai suatu kebutuhan agama (a religious necessity). Artinya, negara Islam yang diangap memenuhi syarat adalah suatu pemerintahan yang mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi dan tidak memandang apakah negara itu berbentuk khalifahan, monarki, ataupun republik. Ia lebih memilih meletakkan keadilan pada setiap pemerintahan sebagai esensi kekuasaan, daripada meributkan bentuk negara.

Teori politik Ibnu Taimiyah (w. 1328) memiliki kemiripan yang lebih dekat kepada konsep pemerintahan modern. Dalam asal-usul negara, ia bermaksud menawarkan interpretasi sosiologis berdasarkan pada hakikat manusia yang bebas dari campur tangan agama. Sikap tersebut tidak ditemukan pada teori klasik yang menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan hanya berasal dari sumber agama. Dari sini kita bisa melihat pemikiran Ibnu Taimiyah “melampaui” tradisi berpikir para filsuf Islam tentang teori kekuasaan.15 (Jindan, 1995: 124)

Pembaharuan pemikiran oleh Taimiyah
Taimiyah melakukan pembaharuan dengan membuka kembali pintu akal, daripada hanya mengikuti pola yang sudah baku. Kepercayaan terhadap kemungkinan dan nilai pengetahuan syariah yang independen mempunyai pengaruh yang kuat pada doktrin Ibnu Taimiyah dan merupakan pendukung semua langkah pembaruannya yang kontroversial.

Perubahan paling penting yang menyangkut dengan metode itu adalah adanya rehabilitasi peranan ijtihad yang sering diartikan dengan ungkapan seseorang terhadap kecakapan dan kemampuan pribadinya untuk mencapai pengetahuan. Ijtihad dimaksudkan untuk menggantikan metode taklid yang amat membeo dan kaku. Taklid sendiri berarti mengadopsi segala keputusan yang ditetapkan oleh para penguasa.
Ia tidak mendukung tafsir teks suci yang benar-benar harfiah, tetapi menggunakan analogi dan silogisme sebagai alat untuk menghubungkan contoh-contoh tertentu dengan norma-norma legal melalui argument rasional. Dia mendukung penalaran individual (ijtihad) yang dilakukan oleh seorang mujtahid yang memenuhi syarat sebagai bantuan untuk memahami konsensus (ijmak) umat Islam. Satu hal yang paling mengejutkan, ia mendukung “jalan tengah” (wasath)-atau rekonsiliasi-antara nalar (metode teologi), riwayat (metode ahli hadits), dan kehendak bebas (metode sufi).

Selain itu, prinsip-prinsip dan nilai-nilai fundamental syariah harus mempertimbangkan keadaan-keadaan baru. Menurutnya, syariat saat ini mungkin membutuhkan banyak adaptasi. Syariat dapat memberikan bimbingan yang benar untuk setiap masalah hanya jika manusia menggunakan seluruh upayanya (berijtihad). Ibnu Taimiyah membolehkan penguasa untuk menerapkan hukuman terhadap sesuatu urusan yang belum ditetapkan oleh syariat, misalnya hukuman untuk kesalahan administrasi, malpraktik, dan penyuapan.
Cakrawala Ibnu Taimiyah semakin terbuka ketika Kekhalifahan Abbasiyah tumbang, karena peristiwa itu membuka jalan bagi solusi yang lebih radikal terhadap problem-problem yang sekian lama menghantui masyarakat.

Ibnu Taimiyah menghargai peranan akal dan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya, tetapi kedudukannya harus berada di bawah wahyu. Akal yang benar adalah akal yang beroperasi di bawah bimbingan Al-Quran dan petunjuk Nabi (As-Sunnah).

Persamaan dan Perbedaan antara Kant dan Taimiyah
Dalam memandang kosmopolitanisme sebagai akhir dari sejarah umat manusia, Kant meletakkan beberapa faktor sebagai modal, yakni memahami kehendak Alam; institusi negara sebagai jalan; upaya negara-negara dalam mewujudkan kosmopolitanisme; dan usaha-usaha filosofis manusia untuk mencapai kosmopolitanisme.
Sementara Taimiyah memiliki pendapat yang serupa dengan mengedepankan peranan negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan menegakkan keadilan; memandang dengan kacamata kosmopolit dengan mementingkan asas keadilan di atas keimanan; dan penyegaran pemikiran dengan mengemukakan usaha filosofis dalam mencari kebenaran.

Dari pemikiran kedua filsuf berbeda zaman dan dunia ini, kita sedikit banyak dapat menemukan benang merah. Mereka sama-sama berbicara kosmopolitanisme; keadilan, distribusi sumber daya secara global, dan pencapaiannya melalui institusi negara, namun dengan warna yang berbeda.
Menariknya, pendapat Taimiyah yang kosmopolit ini dikemukakan lima abad sebelum Kant dan dari dunia yang berbeda dari dunia tempat Kant hidup. Dengan kata lain, pendapat Taimiyah ini “melompati zamannya” dan menembus ruang dimana ia tinggal. Karena keteguhannya memegang pendapat-pendapatnya yang “melompati zaman” ini, pemikir besar Islam ini harus membayar mahal dengan merasakan tiga kali dinginnya ruangan penjara, bahkan harus menutup usia dalam penjara.

Selanjutnya perbedaan di antara keduanya. Dalam setiap kesempatan, karya Kant selalu mempermasalahkan Tuhan yang sebelumnya dianggap tidak bisa dibicarakan karena tidak tergolong dalam kategori-kategori dan mengagung-agungkan rasionalitas. Sebagai gantinya, Kant lebih mempercayai hukum Alam (dalam “a” besar) yang mengatur kehidupan manusia dan menetapkan tujuan-tujuan sejarah manusia.
Sebaliknya, Ibnu Taimiyah dengan tegas selalu berpegang teguh pada hukum agama Islam dalam setiap pemikirannya. Taimiyah menghargai akal, tetapi akal yang terbimbing oleh agama. Kekuasaan, menurut Taimiyah, adalah kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Taimiyah dikenal sebagai salah satu pemikir kosmopolitanisme Islam yang meletakkan pondasi keadilan dalam pemerintahan melebihi agama; membuka keran pemikiran Islam seluas-luasnya; distribusi sumber daya secara global; dan pencapaian keadilan melalui institusi negara. Meskipun demikian, ia tetap dikenal sebagai seorang ulama Islam yang berpengaruh dan mengkaji ilmu-ilmu agama secara mendalam.

Selain itu pula, perbedaan yang jelas antara Kant dan Taimiyah dalam hal memandang progresivitas sejarah. Kant memandang Alam berkendak agar manusia berusaha mewujudkan sejarah universal manusia yang kosmopolit. Kant menilai inilah puncak sejarah manusia yang sempurna dan menjadi tugas terakhir yang harus direalisasikan sebelum Alam berakhir. Pemikiran Kant senada dengan pemikir Barat lainnya yang selalu merefleksikan progresivitas sejarah ke arah masa depan.

Akan tetapi, Taimiyah berpendapat puncak sejarah manusia yang sempurna adalah pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya hidup. Setiap pemikir Islam, termasuk Taimiyah, mempercayai bahwa pencapaian sejarah manusia yang paling puncak adalah pada masa dimana Rasulullah hidup. Sehingga setiap pemikir Islam selalu merefleksikan tujuan ideal ke belakang dalam proses filosofisnya. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “Zaman terbaik adalah zamanku, kemudian sesudahnya, dan sesudahnya lagi.”
________________________________________
1 Anthony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi
2 Anthony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi, halaman  297
3 Ibid
4 Kompas, 20 Desember 2004
5 Immanuel Kant, Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, 1784, dalam diktat “Immanuel Kant-Perpetual Peace” mata kuliah Teori Politik Internasional.
6 Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi, halaman 24
7 Gillian Brock, World Citizenship: David Miller versus the New Cosmopolitans, 2002, diktat “Kosmopolitanisme” mata kuliah Teori Politik Internasional, halaman 2
8 Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, 2004, Yogyakarta: Qalam, halaman 27
9 Surwandono, “Pemikiran Politik Islam“, 2001, Yogyakarta: LPPI UMY
10 Ibnu Taimiyah, Tugas Negara menurut Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
11 Ibnu Taimiyah, Public Duties in Islam, The Institution of the Hisba,1985, London
12 Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
13 Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi
14 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti
15 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti

DAFTAR PUSTAKA
Adams, Ian, (2003). “Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya”, Yogyakarta: Qalam
Adkhilni M. Sidqi, “Dialog Pemikiran Politik Immanuel Kant dan Ibnu Taimiyah, Artikel (tanpa tahun).
Black, Antony, (2001).“Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini”, Jakarta: Serambi
Brock, Gillian, (2002). World Citizenship: David Miller versus the New Cosmopolitans, 2002, diktat “Kosmopolitanisme” mata kuliah Teori Politik Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada
Jindan, Khalid Ibrahim, (1995).“Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam”, Surabaya: Risalah Gusti
Kant, Immanuel, (1784) Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, dalam diktat “Immanuel Kant-Perpetual Peace” mata kuliah Teori Politik Internasional Fisipol Universitas Gdjah Mada

Senin, 21 April 2014

Biyungku Mamaku Ibuku



Setiap pagi sebelum matahari sempat muncul di langit, disiapkannya sepeda onta tua lusuh dan mulai berkarat. Diperiksanya kondisi ban dan rantai sepeda, setelah yakin siap pakai dituntunnya keluar dan disandarkan ke tembok samping rumah. Lalu kembali masuk mengangkat keranjang bambu yang dianyam rapat. Dua keranjang diletakkan satu persatu di boncengan sepeda lalu berpamitan kepada keluarga.

Dikayuhnya sepeda pelan-pelan menelurusi gang masjid, jalan pedukuhan, kemudian berujung di pertigaan jalan Karanganyar-Kaleng berbelok ke kanan menuju pasar karanganyar. Sampai di pasar berbelanja secepat dia bisa, tanpa perlu menawar cukup memilih dan menimbang pada pedagang-pedagang yang telah menjadi langganannya. Sambil tersenyum berbagi kebahagiaan dia berpindah-pindah dari pedagang yang satu ke pedagang yang lain. Hampir 2 jam dia berbelanja, sambil menata barang dagangan yang telah dibelinya, dia mengecek apa yang kurang hari itu. 

Dia kembali mengayuh sepedanya menuju pedukuhannya, beban keranjang yang berat tampak sekali berpengaruh pada kecepatan laju sepedanya. Keranjang yang sudah mulai berlubang di bagian yang terkena as roda, tampak miring mengimbangi berat muatan yang ada di dalamnya. Berderit-derit gesekan besi penyangga keranjang dengan besi boncengan sepeda. Ketika memasuki pedukuhan, dia berteriak keras-keras "Sayur bu!!! Sayuuur!" memanggil orang-orang untuk keluar rumah berbelanja dagangannya. Dengan ramah dan sabar dia melayani pembeli yang rata-rata ibu rumah tangga yang juga tetangganya.

Kira-kira pukul 9 lebih dia sudah sampai rumah kembali, untuk beristirahat  sebentar, makan pagi dan menunaikan sholat dhuha dua rakaat. Kemudian kembali bersepeda berkeliling pedukuhan dan desa di sekitar dukuhnya. Setiap hari ditempuhnya perjalanan 7 sampai 10 kilometer untuk berkeliling menjajakan sayuran dan makanan kecil. Pukul 5 baru sampai rumah kembali, lalu menyiapkan makan malam untuk keluarga. Dia berkeliling dengan penuh semangat dan penuh cinta kasih. Dia berkeliling untuk mewujudkan cita-citanya sendiri, membantu suami untuk menyekolahkan anak-anaknya setinggi kemauan sang anak. Dengan penuh cinta dan sayang dia menanamkan sebuah tauladan kerja keras, dengan ikhlas dia membimbing anak-anaknya berbagi, dan dengan kelembutan melayani suami. Ini adalah cerita 26 tahun yang lalu. Namun hingga hari ini masih setia dengan sepeda tua dan keranjang usangnya.

Dia bagian hidup yang selalu menginspirasi, selalu memotivasi, selalu memberikan arti. Dia mamakku.... Terima kasih mamak, terima kasih atas semua hal yang telah diberikan untuk semua anakmu. Kami akan selalu menyayangimu. 

Sabtu, 19 April 2014

Baca tulis dan hitung dilarang untuk anak usia PAUD

 Dr. Hj Erma Pawitasari, M.Ed 
dari http://www.suara-islam.com

Perkembangan pengajaran calistung disertai dengan tes-tes bagi anak-anak Playgroup dan TK sudah pada level mengkhawatirkan. Bila dulu, anak-anak cukup membeli buku persiapan UMPTN (masuk perguruan tinggi), diikuti dengan buku persiapan Ebtanas (setara Ujian Nasional), sekarang sudah banyak terbit buku-buku untuk persiapan tes masuk SD, seperti “Aku Siap Masuk SD” dan sejenisnya. Lebih jauh lagi, anak bayi pun sekarang sudah harus giat belajar menghadapi persaingan masuk TK sehingga banyak terbit buku-buku persiapan masuk TK, seperti “Sukses Masuk TK”, “99,99% Diterima Masuk TK Favorit”, dan “Lolos Tes Masuk TK.”

Bola liar calistung ini membuat Mendikbud, Dr. Muhammad Nuh, membuat pernyataan publik pada acara Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) di Depok, 11 Januari yang lalu. Beliau menegaskan bahwa mengajarkan calistung adalah kewajiban SD, bukan PAUD. Anak yang akan masuk sekolah tidak boleh dituntut sudah menguasai calistung [Situs resmi PAUD Kemdikbud RI].

Pernyataan Mendikbud ini sesuai dengan aturan hukum yang diatur dalam Permendiknas RI No. 58 TAHUN 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Ada 4 tingkat pencapaian terkait dengan kemampuan calistung bagi anak usia 4-6 tahun, yaitu:

1. Pura-pura membaca cerita bergambar dalam buku dengan kata-kata sendiri.

2. Berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, serta mengenal simbol-simbol untuk persiapan membaca, menulis dan berhitung.

3. Membaca nama sendiri.

4. Menuliskan nama sendiri.

Berdasarkan Permendiknas ini, kemampuan tertinggi yang diharapkan dari lulusan TK adalah membaca dan menulis namanya sendiri. Inipun cukup nama pendek, sekedar mengenali namanya dan memberi nama lembar kerjanya.

Untuk mendukung aturan ini, Dirjen Dasmen mengeluarkan Surat Edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 Perihal : Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar. Ada 3 hal yang ditekankan dalam surat edaran ini, yaitu:

1. Pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung.

2. Pendidikan di TK tidak diperkenankan memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada anak didik dalam bentuk apapun.

3. Setiap sekolah dasar (SD) wajib menerima peserta didik tanpa melalui tes masuk.

Menurut aturan pemerintah, Sekolah PAUD yang mengajarkan materi calistung secara langsung dan SD yang mengadakan tes penerimaan murid justru telah melakukan pelanggaran. Hal ini harus disosialisasikan ke seluruh PAUD dan orang tua murid sehingga bersama-sama mematuhi aturan dan tidak memaksa anaknya menguasai calistung pada usia dini.

Mengapa pemerintah melarang pengajaran calistung secara langsung? Apa ruginya anak belajar calistung? Bukankah hal ini membantunya menguasai pelajaran SD? Bukankah makin terpakai otak, makin meningkat kecerdasannya?

Secara ringkas, pertanyaan-pertanyaan di atas telah dijawab oleh Direktur PAUD Kemdikbud, Sudjarwo Singowijoyo. Beliau mengatakan:

 Memaksa anak usia di bawah lima tahun (balita) menguasai calistung dapat menyebabkan si anak terkena 'Mental Hectic’, yaitu anak menjadi pemberontak.

 Penyakit itu akan merasuki anak di saat kelas 2 atau 3 Sekolah Dasar (SD).

Memaksakan anak menguasai calistung pada usia dini justru akan merusak kecerdasan mentalnya. Ia mungkin tampak jenius secara kognitif, namun fungsi otak lainnya akan terganggu. Otak manusia tidak hanya berfungsi untuk mengolah informasi kognitif, namun juga nalar dan karakter (akhlaq). Apabila kemampuan nalar dan akhlaq rendah, maka kemanusiaan akan jatuh pada titik nadir.

Apakah anak usia dini sama sekali dilarang belajar calistung? Belajar calistung secara tidak langsung diperbolehkan. Contohnya adalah:

- melihat ibunya menghitung gelas untuk menjamu tamu
- melihat kakaknya menikmati membaca buku
- menghitung jumlah anggota dalam sebuah permainan kelompok
- dsb.

Sebagai penutup, mari kita renungkan hadits Nabi SAW, “Perintahkanlah anakmu untuk sholat pada usia 7 tahun.” Sholat adalah urusan yang paling penting. Sholat adalah tiang agama. Untuk urusan terpenting saja, Nabi menyuruh kita menunda hingga anak mencapai usia 7 tahun. Padahal, apa salahnya menyuruh anak sholat sejak usia dini?

Keimanan kita kepada Allah dan Rasul membuat kita yakin bahwa apa-apa yang diperintahkan/dilarang adalah yang terbaik. Bila menyuruh anak sholat sejak usia dini memiliki efek positif, tentu Nabi akan mewasiatkan untuk mengajak anak-anak sholat sejak usia dini. Namun, Nabi justru membiarkan cucu-cucunya bermain di punggung beliau saat beliau mengimami sholat berjamaah di masjid. Demikian pula dalam hal belajar bidang-bidang lainnya. Pelajaran secara formal/langsung, baru boleh dilakukan ketika anak berusia 7 tahun. Sebelum usia itu, biarkan kanak-kanak menikmati canda tawanya, tanpa beban yang akan merusak akhlaknya.

Jumat, 18 April 2014

Sebuah Cerita dari Logandu



Kupikirkan maka kudapatkan

Sebuah keinginan yang kuat adalah awal dari pencapaian kita hari ini. Kita berpikir dan bertindak secara tidak sadar akan terprogram dan berorientasi pada keinginan tersebut. Keinginan itu akan berusaha mendekatkan usaha kita menuju keinginan yang tertanam di alam bawah sadar.

Saya rasa semua pasti sudah pernah mengalami hal tersebut, hanya saja tidak semua sadar dan tahu akan keinginan dan tindakannya itu. Ada sebuah kisah dari sebuah keinginan masa kecil (meskipun sederhana dan bagi sebagian orang hal ini sepele) yang menjadi kenyataan.

Aku punya seorang paman, dia sangat menyukai pertunjukan wayang kulit. Masa kecilnya dia sering melihat pertunjukan wayang di desa maupun sekitar desanya. Wayang tak bisa dilepaskan dari kesehariaannya, rumput dan dedaunanpun menjadi karakter wayang yang cukup menarik dan menyenangkan. Meskipun dengan kehidupan yang sederhana dia berkeinginan menjadi dalang wayang kulit.

Karena hobi itu pulalah dia sangat senang membaca segala sesuatu yang berkaitan dengan wayang kulit. Pada masa kecilnya (sekitar tahun 80-an), majalah dan surat kabar yang memuat tentang wayang kulit sangat sedikit, maka segala tulisan yang ada dan memuat wayang akan dicarinya meskipun hanya potongan koran bekas. Hingga suatu saat dia menemukan sebuah majalah krucil (majalah dengan ukuran booklet/separuh buku tulis biasa) yang memuat tentang seorang anak dari Karangsambung yang mahir membuat wayang. Anak kecil itu mendapat pujian dari dalang ki Manteb Sudarsono atas karyanya. Karena kedekatan geografis pamanku sangat ingin mengenal anak itu lebih dekat. Meskipun pada masanya banyak anak yang bersekolah di Karangsambung dia tidak mendapat kesempatan yang sama. Dia hanya memendam keinginan untuk mengenal anak tersebut.

Menjelang dewasa dia ngenger atau mengabdi kepada salah satu dalang yang cukup terkenal di daerah Cilacap dan sekitarnya yang bernama panggung Ki Sikin Hadi Warsono. Disana pamanku tidak hanya berlatih wayang namun juga sebagai pembantu yang menyiapkan keperluan ki dalang. Baik keperluan panggung maupun keperluan sehari-hari keluarga ki dalang. Bagi pamanku, memiliki kesempatan berlatih wayang dan seluk beluk serta penyiapan di belakang panggung adalah sebuah anugerah yang luar biasa, meskipun harus ditebus dengan sebuah pengabdian.

Karena sebuah tuntutan pamanku tidak melanjutkan pengabdian di tempat ki Sikin Hadi Warsono, kemudian beliau merantau di tanah pasundan. Pamanku menuliskan episode kehidupannya di ibukota parahyangan, kota paris van java, Bandung. Di sana beliau memulai usaha dengan ikut berjualan bakso pada tetangga satu desa. Setiap hari beliau berjalan berkeliling mendorong gerobak bakso dari rumah ke rumah. Setiap pagi jauh dari saat menjelang subuh harus bangun lalu ke pasar menyiapkan bahan untuk berjualan hari itu. Hari-harinya yang penuh kesibukan tak melunturkan kecintaannya pada wayang kulit. Ketika ada pagelaran wayang kulit, dia menyempatkan diri berlibur untuk menyaksikannya.

Ketika pamanku menikah dia memutuskan untuk pentas pentas di hadapan orang-orang desanya. Pentas itu yang pertama kali di khalayak ramai. Pamanku dengan kemampuan yang dimilikinya berusaha menampilkan yang terbaik. Satu keinginan kuat yang menjadi kenyataan. Semua orang menyemangati dia dan memberikan ucapan selamat atas kenekatannya menggelar pertunjukan wayang hari itu. Meskipun sampai saat ini belum pernah pentas kembali, namun dia membuktikan keterbatasan bisa ditebus dengan kerja keras.

Rupanya takdir yang berkaitan dengan kecintaannya pada wayang kulit belum berhenti sampai di situ. Suatu saat ketika ada pertunjukan wayang kulit ki Manteb Sudarsono di Bandung beliau menyempatkan hadir di gedung RRI Bandung untuk melihat. Di sana ki Manteb menemui seseorang yang membawa sebuah wayang karakter Buta (raksasa). Ketika ki Manteb menyebut nama pembuat wayang itu, pamanku terkejut dan segera menghampiri pembuat wayang itu. Mereka berdua berkenalan ternyata pembuat wayang itu adalah anak Karangsambung yang pernah dibacanya di Majalah krucil waktu dia masih kecil. Akhirnya dia akrab dengan anak yang dikenalnya hanya dari majalah.

Dua hal itu, membuktikan bahwa sebuah keinginan kuat sangat mempengaruhi apa yang akan kita dapatkan. Kita bisa meraih berbagai macam hal yang mungkin hanya kita bayangkan dan atau kita bayangkan tidak mungkin.

Seperti juga cerita ini Cita-citaku tukang traktor

Kamis, 17 April 2014

PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI DAN HASYIM ASY’ARI

PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN
HASYIM ASY’ARI DAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI

A. Pendahuluan
M. Amien Rais memaparkan bahwa gerakan pembaruan atau reformasi Islam mulai muncul sejak zaman Dinasti Umayyah, kala pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan dan secara sewenang-wenang pemerintah melakukan penindasan terhadap masyarakat. Aktor yang cukup berperan pada saat itu muncul dari gerakan sufi. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap penafsiran Islam yang terlalu menekankan pada aspek hukum. Selanjutnya, muncullah berturut-turut gerakan pembaruan atau reformasi Islam yang dicetuskan oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Syah Waliullah, dan gerakan Sanusiah. Berbagai macam gerakan pembaruan yang muncul sebelum abad ke-20 ini diarahkan untuk menghentikan proses degenerasi umat dan untuk mempersempit kesenjangan antara Islam dalam teori (ideal Islam) dan Islam dalam praktik (historical Islam). Gerakan pembaruan yang menekankan pada membangkitkan semangat ijtihad ini muncul dari kesadaran umat Islam sendiri, bukan karena desakan dan pengaruh Barat
Gerakan pembaruan Islam pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 mengambil corak yang berbeda dengan gerakan pembaruan sebelumnya. Pada periode ini, gerakan pembaruan merupakan upaya reaktif umat Islam dalam menghadapi kolonialisme negara-negara Barat.  Secara historis, Harun Nasution memaparkan bahwa latar belakang gerakan pembaruan pada periode ini adalah jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Kejadian ini menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan kemajuan peradaban Barat. Dari sini, para pemuka Islam mulai berpikir, bagaimana meningkatkan kesadaran dan kualitas umat Islam.  Di antara tokoh reformasi Islam yang cukup terkenal pada periode ini adalah Jamaluddin al-Afghani dan Hasyim Asy’ari. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan sepak terjang dan sumbangan pemikiran kedua tokoh ini bagi upaya pembaruan Islam.
B. Kehidupan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
1. Jamaluddin al-Afghani (1839-1897)
Nama lengkapnya adalah Jamaluddin al-Afghani as-Sayyid Muhammad bin Shafdar al-Husain. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Jamaluddin al-Afghani. Al-Afghani lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal di Istanbul pada tahun 1897. Al-Afghani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah saw., Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya adalah Sayyid Shafdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali at-Turmudzi (seorang perawi hadis yang masyhur) dan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Tempat kelahiran al-Afghani sulit dipastikan. Ia mengaku dilahirkan di As’adabad, Konar, Distrik Kabul, Afghanistan, dari keluarga penganut Mazhab Hanafi. Versi lain mengatakan, ia dilahirkan di As’adabad dekat Hamadan, Persia (Iran). Pengakuan al-Afghani dilahirkan di As’adabad, Konar, Distrik Kabul, Afghanistan dilakukan dengan maksud menghindari kesewenang-wenangan penguasa Persia pada saat itu. Menurut Nikki R. Keddie, banyak sumber yang mengatakan bahwa al-Afghani tidak mungkin berasal dari Afghanistan, tetapi ia lahir dan mendapat pendidikan Syi’ah di Iran. Di antara sumber-sumber tersebut adalah surat untuk kemenakannya yang tinggal di Iran serta berbagai buku dan risalah bertahun yang ditemukan di antara tulisan-tulisan al-Afghani.  Ketika baru berusia 22 tahun, al-Afghani menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada tahun 1864, ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad A’zam Khan. Pada masa karier politiknya ini, Inggris sudah mulai ikut campur dalam urusan politik Afghanistan. Dalam pergolakan tersebut, al-Afghani memilih pihak yang berupaya menentang golongan pribumi yang disokong oleh Inggris. Pada tahun 1869, setelah pihaknya kalah dalam perseteruan politik, al-Afghani meninggalkan Afghanistan dan pergi menuju India.
Di India, al-Afghani tidak merasa lebih baik, karena saat itu India sudah berada di bawah kekuasaan Inggris. Oleh karena itu, pada tahun 1871, ia pindah menuju Mesir. Di Mesir, al-Afghani menetap di Kairo. Awal mula tinggal di Mesir, ia menjauhi persoalan-persoalan politik dan hanya memusatkan perhatian pada dunia ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat tinggalnya menjadi tempat pertemuan murid-muridnya dan para pengikutnya. Di sanalah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Para pengikut al-Afghani di antaranya adalah orang-orang terkemuka di bidang pengadilan, dosen-dosen, para mahasiswa al-Azhar serta universitas lain, dan para pegawai pemerintahan. Di antara para muridnya tersebut ada yang kemudian menjadi pemimpin, seperti Muhammad Abduh (tokoh pembaru dan reformis Islam) dan Sa’ad Zaglul (pemimpin kemerdekaan Mesir).
Pada tahun 1876, campur tangan Inggris dalam urusan politik Mesir makin meningkat. Al-Afghani tidak tinggal diam. Akhirnya, ia menerjunkan diri ke dalam dunia politik. Supaya bisa bergaul dengan para tokoh politik Mesir, ia bergabung dengan organisasi Freemason Mesir, suatu organisasi yang disokong oleh kelompok anti zionis. Di sini, ia bertemu dengan Putra Mahkota Taufik. Pada tahun 1879, atas usaha keras al-Afghani, terbentuklah parta al-Hizb al-Wathani (Partai Nasional). Tujuan didirikannya partai ini adalah memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi penting dalam bidang militer. Dengan sokongan partai ini, al-Afghani berhasil menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa saat itu, Khedewi Ismail, yang kemudian digantikan kedudukannya oleh Putra Mahkota Taufik. Tetapi sayang, Taufik malah tidak dapat memenuhi tuntutan al-Hizb al-Wathani. Ia malah bersekongkol dengan Inggris. Pada tahun 1879, Taufik mengusir al-Afghani keluar dari Mesir.
Setelah diusir dari Mesir, al-Afghani kembali ke India, tepatnya ke negara bagian Hyderabad yang mayoritas berpenduduk muslim. Pada masa ini, ia banyak menyelesaikan tulisan-tulisan penting. Di antaranya ia menulis sekumpulan artikel dan risalah yang kemudian dikumpulkan. Dalam edisi bahasa Inggris, tulisan ini terkenal dengan judul The Refutation of the Materialist. Kumpulan tulisan ini ditujukan untuk menyanggah karya Sayyid Ahmad Khan yang pro-Inggris.
Akibat pemberontakan Urabi Pasya (1881-1882), al-Afghani akhirnya meninggalkan India dan pindah ke Paris. Di sana ia mendirikan perkumpulan al-‘Urwah al-Wutsqa yang beranggotakan orang-orang Islam dari India, Mesir, Syria, Afrika Utara, dan lain-lain. Tujuan organisasi ini adalah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Di samping itu, organisasi ini juga menerbitkan majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang gaungnya sampai ke berbagai pelosok negeri muslim, termasuk Indonesia. Dalam menerbitkan majalah al-‘Urwah al-Wutsqa ini, al-Afghani dibantu oleh salah seorang muridnya, Muhammad Abduh, yang juga diusir dari Mesir karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Urabi Pasya. Namun sayang, usia majalah ini tidak dapat berlangsung lama. Setelah terbit selama 8 bulan, sebanyak 18 nomor, mulai 13 Maret 1884 sampai 17 Oktober 1884, penerbitan majalah ini diberhentikan secara paksa oleh negara-negara Barat yang saat itu banyak menguasai negeri-negeri muslim
Pada tahun 1889, al-Afghani diundang ke Persia untuk mencari penyelesaian persengketaan antara Rusia dan Persia yang timbul akibat politik pro-Inggris yang dianut Persia waktu itu. Akan tetapi, al-Afghani tidak setuju kepada kebijakan Persia untuk memberikan konsesi kepada Inggris. Akhirnya, al-Afghani berselisih paham dengan Syah Nasir ad-Din. Kemudian, al-Afghani diusir oleh Syah Nasir ad-Din. Pada tahun 1896, Syah dibunuh oleh seorang pengikut al-Afghani.
Pada tahun 1892, al-Afghani pindah ke Istanbul atas undangan Sultan Abdul Hamid. Melihat pengaruh al-Afghani yang demikian luas di berbagai negeri muslim, Sultan Abdul Hamid memerlukan al-Afghani untuk merealisasikan rencana politiknya. Sultan berpikir bahwa bantuan negeri-negeri muslim sangat diperlukan untuk menentang kekuasaan Eropa yang waktu itu kian mendesak eksistensi Kerajaan Usmani di Timur Tengah. Akan tetapi, kerja sama antara al-Afghani yang berpikiran maju dan demokratis dengan Sultan Abdul Hamid yang masih mempertahankan kekuasaan otokrasi tidak dapat berlangsung lama. Karena takut akan pengaruh al-Afghani yang semakin besar, akhirnya Sultan mulai membatasi gerak-gerik al-Afghani. Al-Afghani tidak dapat keluar dari Istanbul sampai akhirnya ia meninggal karena kanker pada tahun 1897.
Melihat sepak terjang Jamaluddin al-Afghani di atas, sebenarnya Jamaluddin al-Afghani lebih pantas disebut sebagai pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir pembaruan/reformasi Islam. Akan tetapi, menurut Harun Nasution, aktivitas politik Jamaluddin al-Afghani didasarkan pada ide-ide brilian tentang pembaruan dalam Islam. Dengan demikian, ia adalah pemimpin pembaruan/reformasi Islam sekaligus pemimpin politik. Di antara karya tulis Jamaluddin al-Afghani adalah Baab maa Ya’uulu ilaihi Amr al-Muslimiin, Makiidah asy-Syarqiyyah, Risaalah fii ar-Radd ‘alaa al-Masiihiyyiin, Diyaa’ al-Khaafiqain, Haqiiqah al-Insaan wa Haqiiqah al-Wathan, dan ar-Radd ‘alaa ad-Dahriyyiin.
2.  Hasyim Asy’ari
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871. Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama. Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.  K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI. Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura. K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.
C. Pemikiran Pendidikan Jamaluddin al-Afghani dan Hasyim Asy’ari
Pembaruan atau reformasi Islam yang digagas oleh Jamaluddin al-Afghani didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah ajaran yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan semua keadaan. Demi terlaksananya ajaran Islam di berbagai tempat dan zaman tersebut, diperlukan interpretasi baru terhadap ajaran Islam sebagaimana yang tersurat dalam Al-Qur’an dan hadis. Proses reinterpretasi ini membutuhkan ijtihad. Dengan demikian, menurut al-Afghani, pintu ijtihad selalu terbuka. Dalam melakukan penafsiran ulang terhadap Al-Qur’an dan hadis ini, al-Afghani menekankan pentingnya akal. Menurutnya, dengan melakukan penafsiran ulang terhadap Al-Qur’an dan hadis secara rasional, Islam akan menjadi dasar bagi sebuah masyarakat yang ilmiah modern, sebagaimana pernah menjadi dasar masyarakat muslim pada zaman keemasan Islam.
Selanjutnya, al-Afghani juga berpendapat bahwa jika dapat dipahami secara rasional, Islam sesungguhnya adalah sebuah keyakinan yang dinamis, karena Islam mendorong sikap aktif, yakni sikap bertanggung jawab terhadap urusan dunia. Sikap inilah yang menurut al-Afghani akan membantu proses kebangkitan umat Islam menuju kejayaan politik dan kultural.Menanggapi kemunduran yang melanda umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, al-Afghani berpendapat bahwa faktor penyebabnya bukan karena ajaran Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman, tetapi karena umat Islam terpengaruh oleh ajaran yang datang dari luar Islam. Di samping itu, umat Islam juga mundur karena salah dalam mengartikan hadis yang menyatakan bahwa di akhir zaman nanti umat Islam akan mengalami kemunduran. Akibat berpegang pada pengertian salah ini, umat Islam menjadi statis dan pasrah terhadap nasib.
Sebab lain kemunduran umat Islam adalah perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam, pemerintahan negeri-negeri muslim yang absolut, para pemimpin yang tidak amanah, rapuhnya kekuatan militer, sistem administrasi yang buruk, intervensi asing lewat kolonialisme, dan lemahnya rasa persaudaraan di kalangan umat Islam. Inilah beberapa faktor yang menyebabkan umat Islam terpuruk dalam lembah kemunduran dan keterbelakangan.
Dalam menanggapi situasi memprihatinkan ini, al-Afghani menawarkan tiga langkah strategis. Pertama, umat Islam harus melenyapkan pola pikir dan paradigma salah kaprah yang dianut selama ini. Caranya adalah dengan kembali kepada ajaran dasar Islam yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan hadis. Kedua, corak pemerintahan otokrasi yang dianut oleh umat Islam selama ini harus diubah dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Menurut al-Afghani, Islam menghendaki sistem pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada undang-undang. Ketiga, persatuan umat Islam perlu digalakan kembali. Sebab, dengan persatuan inilah umat Islam akan bangkit kembali meraih kemajuan. Demi mewujudkan persatuan seluruh umat Islam, al-Afghani mencetuskan gagasan Pan-Islam. Pan-Islam merupakan respons al-Afghani terhadap kekuasaan Inggris di Mesir dan dominasi Eropa atas dunia Islam pada umumnya. Tetapi sayang, usaha al-Afghani ini tidak membuahkan hasil gemilang.
Inilah beberapa pemikiran reformasi Islam yang dicetuskan oleh al-Afghani. Walaupun hasilnya jauh dari yang diharapkan, tetapi pemikiran al-Afghani banyak memengaruhi para pemimpin umat Islam dan menjadi amunisi ampuh bagi gerakan pembaruan Islam di berbagai negeri muslim, termasuk di Indonesia.
Berikut ini adalah peta pikiran Jamaluddin al-Afghani tentang reformasi Islam.
No.    Aspek Pemikiran    Bentuk Pemikiran
1    Kerangka teori    Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan.
2    Metodologi    Reinterpretasi ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah melalui konsep ijtihad yang sesuai dengan akal.
3    Dipengaruhi oleh    Kondisi terpuruk umat Islam akibat kolonialisme Barat.
4    Konsep reformasi Islam    -    Melenyapkan pola pikir yang salah  terhadap ajaran Islam, yakni kembali kepada ajaran dasar Islam (Al-Qur’an dan hadis).   -    Mengganti sistem pemerintahan otokrasi dengan sistem pemerintahan demokratis.
-    Menggagas Pan-Islam, yakni persatuan seluruh umat Islam.
5    Contribution of knowledge    -    Menafsirkan ulang Al-Qur’an dan hadis dengan cara yang modernis dan liberal. 
-    Membuka kembali pintu ijtihad.
           
Untuk menuangkan pemikirannya tentang pendidikan islam, KH. Hasyim Asy’ari telah merangkum sebuah kitab karangannya yang berjudul “Muta’allim Fima Yahtaj Ilah Al-Muta’alim Fi Ahual Muta’allum Wa Yataqaff Al-Mu’allim Fi Maqamat Ta’limah” . Dalam kitab tersebut beliau merangkum pemikirannya tentang pendidikan Islam kedalam delapan poin, yaitu :
1.    Keutamaan ilmu dan keutamaan belajar mengajar
2.    Etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar
3.    Etika seorang murid kepada guru
4.    Etika seorang murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomi berasama guru
5.    Etika yang harus dipedomi seorang guru
6.    Etika guru ketika dan akan mengajar
7.    Etika guru terhadap murid-murid nya
8.    Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitannya dengannya.

            Dari delapan pokok pemikiran di atas, Hasyim Asy’ari membaginya kembali kedalam tiga kelompok, yaitu :
1.    Signifikansi Pendidikan
2.    Tugas dan tanggung jawab seorang murid
3.    Tugas dan tanggung jawab seorang guru.
Pada dasarnya, ketiga kelompok pemikiran tersebut adalah hasil integralisasi dari delapan pokok pendidikan yang dituangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari.

1. Sigifikansi Pendidikan

            Dalam membahas masalah ini, KH.Hasyim Asy’ari mengorientasikan pendapatnya berdasarkan alwur’an dan Al-Hadits. Sebagai contohnya ialah beliau mengambil pemikiran pendidikan tentang keutamaan menuntut ilmu dan keutamaan bagi yang menuntut ilmu dari surat Al-Mujadilah ayat 11 yang kemudian beliau uraikan secara singkat dan jelas. Misalnya beliau menyebutkan bahwa keutamaan yang paling utama dalam menuntut ilmu adalah mengamalkan apa yang telah dituntut. Secara langsung beliau akan menjelaskan maksud dari perkataan itu, yaitu agar seseorang tidak melupakan ilmu yang telah dimilikinya dan bermanfaat bagi kehidupannya di akherat kelak.
            KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa dalam menuntut ilmu harus memperhatikan dua hal pokok selain dari keimanan dan tauhid. Dua hal pokok tersebut adalah :
1.    bagi seorang peserta didik hendaknya ia memiliki niat yang suci untuk menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekannya
2.     bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu tidak semata-mata hanya mengharapkan materi, disamping itu hendaknya apa yang diajarkan sesuai dengan apa yang diperbuat.
             Hasyim Asy’ari juga menekankan bahwa belajar bukanlah semata-mata hanya untuk menghilangkan kebodohan, namun untuk mencari ridho Allah yang mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat. Kareba itu hendaknya belajar diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai islam bukan hanya semata-mata menjadi alat penyebrangan untuk mendapatkan meteri yang berlimpah.

2. Tugas dan Tanggung Jawab Murid

            Murid sebagai peserta didik memiliki tugas dan tanggung jawab berupa etika dalam menuntut ilmu, yaitu :
1.    Etika  yang harus diperhatikan dalam belajar
Dalam hal ini Hasyim Asy’ari mengungkapkan ada sepuluh etika yang harus dipebuhi oleh peserta didik atau murid, yaitu :
1.    membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian
2.    membersihkan niat
3.    tidak menunda-nunda kesempatan belajar
4.    bersabar dan qonaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan
5.    pandai mengatur waktu
6.    menyederhanakan makan dan minum
7.    bersikap hati-hati atau wara’
8.    menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan yang pada akhirnya menimbulkan kebodohan
9.    menyediakan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
10.  meninggalkan kurang faedah (hal-hal yang kurang berguna bagi perkembangan diri). Dalam hal ini tidak dibenarkan ketika seorang yang menuntut ilmu hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat rohaniah atau duniawiah saja, karena keduanya adalah penting.

3. Tugas dan Tanggung Jawab Guru

            Dalam dunia pendidikan tidak hanya seorang murid yang memiliki tanggung jawab. Namun seorang guru juga memiliki tanggung jawab yang hampir serupa dengan murid, yaitu :
1.    Etika Seorang Guru
Seorang guru dalam menyampaikan ilmu pada peserta didik harus memiliki etika sebagai berikut :
1.    selalu mendekatkan diri kepada Allah
2.    senantiasa takut kepada Allah
3.    senantiasa bersikap tenang
4.    senantiasa berhati-hati
5.    senantiasa tawadhu’ dan khusu’
6.    mengadukan segala persoalannya kepada Allah SWT
7.    tidak menggunakan ilmunya untuk keduniawian saja
8.    tidak selalu memanjakan anak didik
9.    berlaku zuhud dalam kehidupan dunia
10.    menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah
11.    menghindari tempat-tempat yang kotor atau maksiat
12.    mengamalkan sunnah nabi
13.    mengistiqomahkan membaca al-qur’an
14.    bersikap ramah, ceria, dan suka menebarkan salam
15.     membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah
16.    menumbuhkan semangat untuk mengembangkan dan menambah ilmu pengetahuan
17.    tidak menyalahgunakan ilmu dengan menyombongkannya
18.    dan membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.

Dalam pembahasan ini ada satu hal yang sangat menarik, yaitu tentang poin yang terakhir guru harus rajin menulis, mengarang dan meringkas. Hal ini masih sangat jarang dijumpai, ini juga merupakan menjadi salah satu faktor mengapa masih sangat sulit dijumpai karya-karya ilmiah. Padahal dengan adanya guru yang selalu menulis, mengarang dan merangkum, ilmu yang dia miliki akan terabadikan.
1.    Etika Guru dalam mengajar
Seorang guru ketika mengajar dan hendak mengajar hendaknya memperhatikan etika-etika berikut :
a.    mensucikan diri dari hadats dan kotoran
b.    berpakaian yang sopan dan rapi serta berusaha berbau wewangian
c.    berniat beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu
d.    menyampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah (walaupun hanya sedikit)
e.    membiasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan
f.    memberikan salam ketika masuk kedalam kelas
g.    sebelum belajar berdo’alah untuk para ahli ilmu yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita
h.    berpenampilan yang kalem dan menghindarkan hal-hal yang tidak pantas dipandang mata
i.    menghindarkan diri dari gurauan dan banyak tertawa
j.    jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, makan, marah, mengantuk, dan lain sebagainya
k.    hendaknya mengambil tempat duduk yang strategis
l.    usahakan berpenampilan ramah, tegas, lugas dan tidak sombong
m.    dalam mengajar hendaknya mendahulukan materi yang penting dan disesuaikan dengan profesionalisme yang dimiliki
n.    jangan mengajarkan hal-hal yang bersifat subhat yang dapat menyesatkan
o.    perhatikan msing-masing kemampuan murid dalam meperhatikan dan jangan mengajar terlalu lama
p.    menciptakan ketengan dalam belajar
q.    menegur dengan lemah lembut dan baik ketika terdapat murid yang bandel
r.    bersikap terbuka dengan berbagai persoalan yang ditemukan
s.    berilah kesempatan pada murid yang datang terlambat dan ulangilah penjelasannya agar mudah dipahami apa yang dimaksud
t.    dan apabila sudah selesai berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti.

Dari pemikiran yang ditawarkan oleh hasyim asy’ari tersebut, terlihatlah bahwa pemikirannya tentang etika guru dalam mengajar ini sesuai dengan apa yang beliau dan kita alami selama ini. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang beliau fikirkan adalah bersifat fragmatis atau berdasarkan pengalaman. Sehingga hal inilah yang memberikan nilai tambah begi pemikirannya.
1.    Etika Guru Bersama Murid
Guru dan murid pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang berbeda, namun terkadang seorang guru dan murid mempunyai tanggung jawab yang sama, diantara etika tersebut adalah :
a.    berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at islam
b.    menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian
c.    hendaknya selalu melakukan instropeksi diri
d.    menggunakan metode yang sudah dipahami murid
e.    membangkitkan semangat murid dengan memotivasinya, begitu murid yang satu dengan yang lain
f.    memberikan latihan – latihan yang bersifat membantu
g.    selalu memperhatikan kemapuan peserta didik yang lain
h.    bersikap terbuka dan lapang dada
i.    membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik
j.    tunjukkan sikap yang arif dan tawadhu’ kepada peserta didik yang satu dengan yang lain.
Bila sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda, maka setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru dan murid juga memiliki tugas yang serupa seperti tersebut di atas. Ini mengindikasikan bahwa pemikiran Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik dan guru, namun juga keasamaan yang dimiliki dan yang harus dijalani. Hal ini pulalah yang memberikan indikasi nilai utama yang lebih pada hasil pemikirannya.
E. Penutup
Sudah satu abad lebih gagasan pembaruan dan reformasi Islam dicetuskan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Akan tetapi, kondisi umat Islam masih belum berubah. Kemunduran, kebodohan, bahkan cengkeraman kolonialisme dengan wajah baru masih menyelimuti tubuh umat Islam. Hal ini bukan berarti gerakan reformasi Islam yang digagas kedua tokoh pembaru ini tidak berhasil. Dalam beberapa hal memang sudah membuahkan hasil, tetapi belum tuntas. Maka, sudah semestinya generasi selanjutnya meneruskan langkah yang sudah digagas oleh al-Afghani dan Abduh ini. Melanjutkan gagasan al-Afghani dan Hasyim Asy’ari bukan berarti mengambilnya secara persis. Zaman sudah berbeda, situasi dan kondisi yang dihadapi pun sudah berubah. Adalah langkah bijak jika gagasan besar tersebut diambil semangatnya untuk kemudian diselaraskan dengan konteks masa kini. Tentu hal ini dengan tetap mengacu pada tujuan awal reformasi Islam, yakni mengangkat derajat umat dan membawanya kepada gerbang kemajuan.  
DAFTAR PUSTAKA

Esposito, John L. (ed.). Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. Eva Y.N., dkk. Bandung: Mizan, 2001.
Haroen, Nasrun (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 2001.
“Jamaluddin al-Afghani: Penentang Imperialisme Barat”, dalam Republika, edisi Kamis, 6 Agustus 2009.
Keddie, Nikki R. “Sayyid Jamaluddin al-Afghani”, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1996.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi, Bagian Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Nurdin, Muh. Hermawan Ibnu. “Pemikiran Politik Islam Jamaluddin al-Afghani”, dalam www.klipingpilihanku.blogspot.com, 17 November 2009.,
Sanaky, Hujair A. “Dinamika Gerakan Kebangkitan Islam”, dalam www.sanaki.com, 17 November 2009.

Rabu, 16 April 2014

Perbandingan Pendidikan Ibnu Khaldun dan Muhammad Abduh

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu penopang sebuah negara. Kita ingat ketika negeri Jepang luluh lantak dibombardir bon atom pada tahun 1945, kono salah satu hal yang dicari pertama kali adalah seorang guru. Artinya, betapa Jepang sangat membutuhkan tenaga pendidik untuk membangun kembali negaranya. Dengan hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah suatu keniscayaan bagi sebuah negara yang menginginkan tercapainya kemajuan dalam segala bidang.
Tanpa SDM yang mumpuni kemajuan sebuah negara adalah mustahil dan untuk menghasilkan SDM yang mumpuni inilah dibutuhkan sistem pendidikan yang baik.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai sperbuatan mendidik. Menurut Ahmad D Marimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pemiliki terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Selain itu pendidikan dapat diartikan sebagai segala kegiatan yang beorientasi pada pengembangan, pengarahan dan pembentukan kepribadian. Hal inilah yang melatarbelakangi perumusan masalah pada perbandingan pemikiran pendidikan antara tiga tokoh.

B.    Rumusan Permasalahan
Untuk membatasi permasalahan pada makalah ini maka kami membatas permasalahan yang dibahas sebagai berikut:
1.    Apa tujuan pendidikan menurut ketiga tokoh tersebut?
2.    Apa kurikulum pendidikan menurut ketiga tokoh tersebut?
3.    Siapa pendidik dan peserta didik itu?


C.    Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
1.    Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Perbandingan Pendidikan pada semester VI Prodi S1 PAI.
2.    Untuk memberikan sedikit gambaran tentang pemikiran pendidikan dari ketiga tokoh yaitu Ibnu Khaldun, Muhammad Abduh dan Zakiyah darajat.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses untuk menghasilkan suatu out put yang mengarah kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berdisiplin tinggi.
Rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun adalah merupakan hasil dari berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat sejarah dan sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan realita. Sebagai seorang ahli filsafat sejarah atau historical philosophy approach, karena kedua pendekatan tersebut akan mempengaruhi terhadap sistem dan pemikirannya dalam pembahasan setiap masalah, karena kedua pendekatan tersebut mampu merumuskan beberapa pendapat dan interpretasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah dilalui.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini, memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a.    Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b.    Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakkan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan mengutamakan peradaban secara keseluruhan.
c.    Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam kehidupannya, guna mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.

Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta, Manusia menurut Ibnu Khaldun adalah bukan merupakan produk nenek moyang, akan tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu lingkungan sosial merupakan pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak penilaian seorang manusia. Hal ini memberikan arti bahwa pendidik menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.
Manusia sebagai khalifah fil ardli, dibekali oleh Allah SWT akal pikiran, untuk mengatur, merekayasa, dan mengolah sumber daya alam untuk keperluan seluruh umat manusia, sehingga manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka manusia dikatakan sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lainnya, karena manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Kemampuan berpikirnya itu tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menarik peneliti terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.
Proses-proses yang semacam ini melahirkan perbedaan. Akal pikiran yang menghasilkan ilmu pengetahuan, juga dapat menuntun manusia ke jalan Ilahi dan meningkatkan derajat manusia sehingga manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hidupnya jiwa manusia karena ilmu pengetahuan, dan gelapnya hati manusia karena miskinnya ilmu pengetahuan.
Dengan akal pikiran inilah yang kemudian menjadikan manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat antara satu dengan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain telah lebih dahulu mengetahui.

 Hakikat dan Tujuan Pendidikan, Rumusan Ibnu Khaldun mengenai tujuan pendidikan adalah untuk:
a.    Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbuka pikiran dan kematangan individu kemudian kematangan ini kan mendapat faedah bagi masyarakat.
b.    Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya.

Hakikat Pendidik, Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a.    Prinsip pembiasaan
b.    Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c.    Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d.    Prinsip kontinuitas
e.    Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.    Menghindari kekerasan dalam mengajar

Hakikat Peserta Didik, Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a.    Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
b.    Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c.    Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
d.    Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
e.    Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
f.    eserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.

Hakikat Kurikulum, Kurikulum adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari konsep epistemologinya.

Metode Pendidikan, Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya. Cirri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana alam di sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan pendidikan.
Pertama,, kebiasaan mendidik dengan metode “indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
Ketiga, Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan seperti itu, karena berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.
Ibnu Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya. Hal ini termasuk juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, maka pemukulan tidak boleh lebih dari tiga kali.

Hakikat Evaluasi Pendidikan, Evaluasi pendidikan Islam dapat dibagi batasan sebagai suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan Islam. Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan adalah dalam rangka menjelaskan tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan Islam kepada peserta didik. Sedangkan dalam ruang lingkup luas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam (dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai Pencipta, hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Spectrum kajian evaluasi dalam pendidikan Islam tidak hanya terkonsentrasi pada aspek kognitif, tetapi justru dibutuhkan keseimbangan yang terpadu antara penilaian iman, ilmu, dan amal. Sebab kualitas keimanan, keilmuan, dan amal shalihnya. Kesemuanya itu merupakan bahan pemikiran bagi pengembangan sistem evaluasi dalam pendidikan Islam.

B.    Perbandingan Pemikiran Pendidikan
1.    Tujuan Pendidikan
a.    Ibnu Khaldun
Peningkatan dan kemampuan berpikir, peningkatan segi kemasyarakatan manusia, peningkatan segi kerohanian manusia. Sehingga diharapkan pendidikan Islam mampu menciptakan manusia yang siap menghadapi berbagai fenomena sosial yang ada di sekitarnya.
b.    Muhammad Abduh
Pendidikan haruslah mampu mengantarkan siswa sesuai apa profesi yang mau dijalani. Jadi murid memasuki sesuai keinginanya.
c.    Zakariyah Darajat
Tujuan umum pendidikan Islam yaitu peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang dimaksud dalam GBHN. Membina manusia agar menjadi hamba Alloh yang sholeh dengan seluruh aspek kehidupannya, perbuatan, pikiran dan perasaannya.

2.    Kurikulum
a.    Ibnu Khaldun
Kurikulum sebagai alat bantu pemahaman (ilmu bahasa, ilmu nahwu, balagah dan syair). Kedua kurikulum sekunder yaitu mata kuliah untuk mendukung memahami Islam (seperti logika, fisika, metafisika dan matematika). Ketiga kurikulum primer yaitu inti ajaran Islam (ilmu Fiqih, Hadits, tafsir dan sebagainya).
b.    Muhammad Abduh
Tingkat dasar kurikulumnya meliputi:
1)    Buku ikhtisar doktrin Islam berdasarkan ajaran Islam sunni tanpa menyebut perbedaan sektarian.
2)    Buku dasar etika dan moral dan menunjukkan antara benar dan salah.
3)    Sejarah Nabi, sahabat dan sebab-sebab kejayaan Islam
4)    Membaca, menulis, berhitung, prinsip-prinsip bahasa Arab atau kaidah-kaidah bahasa Arab, pelajaran agama (akidah, fiqih), pelajaran akhlak.
Sedangkan di Tingkat Menengah, sekolah ini harus bagi mereka yang ingin belajar syariat, militer, kedokteran atau ingin bekerja di pemerintahan. Kurikulumnya:
1)    Buku pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran dan prookol berdebat.
2)    Teks tentang doktrin yang menyampaikan soal-soal seperti dalil rasional, menentukan posisi tengah dalam upaya menghindari konflik, pendalaman terhadap perbedaan Islam dan Kristen, keefektifan doktrin Islam dalam membentuk kehidupan di dunia dan akhirat.
3)    Teks tentang benar dan salah, penggunaan nalar dan prinsip-prinsip doktrin.
4)    Sejarah penakhlukan dan penyebaran Islam
5)    Semua kurikulum sekolah dasar dan pengembangannya
Tingkat atas yaitu sekolah bagi calon guru dan kepala sekolah, kurikulumnya meliputi:
1)    Tafsir Al Qur’an
2)    Balagah dan bahasa Arab
3)    Ilmu Hadits
4)    Studi Moralitas
5)    Prinsip-Prinsip Fiqih
6)    Historigrafi
7)    Seni bicara dan meyakinkan
8)    Teologi dan pemahaman doktrin secara rasional.
c.    Zakariyah Darajat
Materi pendidikan Islam meliputi pengajaran keimanan, pengajaran akhlak, pengajaran ibadah, pengajaran fiqih, pengajaran ushul fiqih, pengajaran qiraat Qur’an, pengajaran tafsir, pengajaran ilmu tafsir, pengajaran ilmu Hadits dan pengajaran tarikh Islam.

3.    Pendidik
a.    Ibnu Khaldun
Haruslah orang yang berpengetahuan luas dan mempunyai kepribadian yang baik karena pendidik selain sebagai pengajar di dalam kelas, pendidik juga harus bisa menjadi contoh atau suri tauladan bagi peserta didiknya.
b.    Muhammad Abduh
Seorang pendidik dapat mengetahui dan mempertimbangkan apakah anak didiknya mampu memahami materi pelajaran dengan memakai metode tertentu dan apakah anak didik telah siap secara psikologis menerima materi pelajaran. Guru ketika ingin mengajar harus memposisikan sebagai anak didik, kemudian naik sedikit demi sedikit sampai pada derajat setinggi mungkin. Guru tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga spiritual dan akhlak. Profesi guru meliputi mendidik, mengajar dna melatih. Muhammad Abduh menghendaki guru yang profesional tahu akan ilmu pendidikan, ilmu psikologi dan sebagainya. Guru yang profesional menurutnya setidaknya memiliki kompetensi perilaku yang baik, pengetahuan yang luas, menguasai materi, seorang pendidik harus berakhlak mulia.
c.    Zakariyah Darajat
1)    Fungsi sentral guru adalah mendidik yang juga sejalan dengan atau dalam melakuakna kegiatan mengajar yaitu untuk membina seluruh kemampuan dan sikap yang baik dari murid sesuai dengan ajaran islam.
2)    Pendiidk dalam menjalani tugasnya harus mempunyai beberapa kompetensi yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan bahan ajar dan kompetensi dalam cara mengajar.

4.    Peserta Didik
a.    Ibnu Khaldun
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki potensi. Maka dari itu peserta didik membutuhkan bimbingan orang dewasa untuk mengembangkan potensi ke arah yang lebih baik.
b.    Muhammad Abduh
Manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan dengan memiliki potensi-potensi. Dalam kata lain manusia lahir ke dunia ini tidak seperti kertas kosong sebagaimana dalam teori tabularasa. Diantara potensi-potensi lahiriyah (bawaan) manusia, khusunya potensi aqliyah tidak berkembang begitu saja tanapa ada proses pendidikan. Artinya, potensi aqliyah tidak berfungsi sempurna tanpa adanya proses pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan  adalah sarana untuk mengembangkan potensi aqliyah manusia itu. Pada tahap ini, Muhammad Abduh dekat pada aliran konvergensi daripada aliran nativisme dan empirisme.
c.    Zakariyah Darajat
1)    Peserta didik tingkat Taman Kanak-Kanak hanya berpikir terkait dengan apa yang dapat dijangkau oleh panca inderanya
2)    Pesreta didik tingkat Sekolah Dasar telah mampu memahami hal yang abstrak dan pemikirannya yang logis baru berkembang.
3)    Peserta didik tingkat SMP kecerdasannya mengalami perkembangan hampir selesai. Tidak mau menerima lagi sesuatu yang tidak masuk akal.
4)    Peserta didik tingkat SMA, terjadi perkembangan pribadi dan sosial, ada rasa ingin diakui oleh teman sebayanya.
5)    Peserta didik tingkat Perguruan Tinggi, pembinaan kepribadian, sosial, ideologi dan agama.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dari ketiga tokoh pada dasarnya sama. Hanya saja pada tujuan Muhammad Abduh lebih terlihat bahwa pendidikan harus mampu mengantarkan peserta didik agar mampu meraih cita-cita yang ingin dicapai oleh peserta didik. Dalam hal kurikulum yang ditawarkan oleh ketiga tokoh sangat terlihat sekali perbedaannya. Jika Ibnu Khaldun menawarkan kurikulum secara umum dimana kurikulum dibagai atas tiga kategori. Sedangkan Muhamamd Abduh lebih sistematis dalam menawarkan kurikulum yaitu pembagian kurikulum sudah dibagi berdasarkan jenjang pendidikan yang ditempuh oleh siswa. Hal ini disebabkan karena perbedaan zaman. Jika masa Ibnu Khaldun pendidikan masih bersifat kalsik sedangkan pada masa Abduh paradigma pendidikan modern sedang berkembang. Sedangkan Zakariyah darajat lebih menekankan kurikulum pendidikan agama Islam. Itupun masih bersifat universal karena belum dibagi berdasarkan jenjang pendidikan. Mengenaio konsep pendidik, ketiga tokoh tidak ada perbedaan. Karena ketiganya menginginkan pendidik yang kompeten dalam berbagai hal. Tidak hanya itu pendidik bukan hanya mengajar di kelas tetapi juga memberikan pendidikan moral. Lebih jelas lagi Abduh menginginkan pendidik yang profesional. Konsep peserta didik ketiga tokoh ada perbedaan pada pemikiran Zakariyah. Jika menurut Ibnu Khaldun dan Abduh memiliki konsep yang sama mengenai pesreta didik, yaitu siswa merupakan manusia yang fitrah dengan memiliki potensi dan memerlukan bimbingan (pendidikan) dalam mengembangkan potensinya. Sedangkan Zakariyah membagi peserta didik menurut jenjang pendidikan. Dia mengelomokkan pendidik berdasarkan perkembangan kognitif yanga ada dalam diri pesserta didik. Berdasarkan uraian di atas, Ibnu Khaldun lebih memiliki kerang berfikir filosofis-logika. Sedangkan Muhammad Abduh lebih bersifat rasionalis-realistis an menyarankan integrasi ilmu pengetahuan umum dengan agama serta Zakariyah Darajat lebih menekankan pada pendidikan agama.

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Syalabi. Sejarah Pendidikan Islam.

Ali Al Jumbulati Abdul Futuh At Tuwaanisi. Perbandingan Pendidikan islam.

Chalidjah Hasan. Kajian Perbandingan Pendidikan.

Imam Barnadib. Perbandingan Pendidikan.

JP. Sarumpat Perbandingan Pendidikan.