Selasa, 15 April 2014

Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur?: 37 Kebiasaan orang tua yang menghasilkan perilaku buruk pada anak (bagian 3)


Bapak dan ibu pernah mengalami salah satu atau beberapa hal dibawah ini :
  • Apakah anda mulai merasa kesulitan mengendalikan perilaku anak anda?
  • Apakah anda dan pasangan anda sering tidak sepaham dalam mendidik anak-anak?
  • Apakah anak anda selalu merengek dan memaksa dibelikan sesuatu setiap kali diajak untuk pergi dan belanja?
  • Apakah anak-anak anda sering bertengkar di rumah dan satu sama lain tidak mau mengalah?
  • Apakah anak-anak anda selalu saling mengganggu?
  • Apakah anda mengalami kesulitan karena anak anda selalu bermain di rumah dan sulit untuk mengerjakan hal-hal lain?
Jika anda menjawab ya dari salah satu pertanyaan di atas, maka ada baiknya membaca tips-tips dibawah ini.
 
Kebiasaan 21: Terlalu banyak larangan
Seberapa banyak kita jumpai orang tua yang ingin menjadikan anaknya seperti apa yang dia inginkan secara sempurna (Perfectionist)? Yang cenderung membentuk anaknya sesuai dengan keinginannya, anaknya harus begini dan tidak boleh begitu, dilarang melakukan ini dan itu. Hal tersebut terkadang dilakukan secara berlebihan, sampai-sampai hal yang paling pribadi pun ikut-ikutan diaturnya.

Apa akibatnya?
Anak tercipta untuk menjadi dirinya sendiri dengan cara yang benar sesuai nilai-nilai yang berlaku. Pada saat kita menerapkan pola asuh perfectionist, pada saat anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri, dengan perlawanan tersembunyi atau dengan perang terbuka.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kurangilah sifat kita yang perfeksionis. Berilah ijin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog. Bangunlah situasi saling mempercayai antara kita dan anak kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan. Gunakan kesepakatan-kesepakatan untuk memberikan batas yang lebih baik.


Kebiasaan 22: Terlalu cepat menyimpulkan
Pada saat anak pulang terlambat dan hendak menceritakan penyebabnya, kita memotong pembicaraan dengan mengatakan, “sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”. Atau “Ah, Papa/mama tahu, kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”.

Apa akibatnya?
Kita cenderung memotong pembicaraan pada saat anak kita sedang memberikan penjelasan dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar dan seandainya benar cara ini akan menyakitkan hati si anak, sehingga anak akan menyimpulkan bahwa kita adalah orang tua yang sok tahu, tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Dan akibatnya anak malah akan benar-benar melakukan hal-hal yang kita tuduhkan kepadanya. Ia tidak pernah mau mendengarkan nasihat kita dan ia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Dengarkan, dengarkan dan dengarkan sambil memberi tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya bahwa kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita sudah selesai dengan penjelasannya.


Kebiasaan 23: Mengungkit kesalahan masa lalu
Seringkali kita mengungkit-ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita, contohnya, “Tuh kan Papa/mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalo orang tua ngomong. Dasar kamu memang anak bebal sih”.

Apa akibatnya?
Kita berharap, dengan mengungkit kejadian masa lalu mengenai catatan kesalahannya, anak akan belajar dari masalah. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahan-kesalahannya sebagai tindakan pembalasan dari sakit hatinya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak ingin anak kita berperilaku buruk lagi, jangan pernah mengungkit-ungkit lagi masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkul anak kita. Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahannya. Ungkapkan pernyataan seperti, “Y, sayang kita semua manusia biasa, setiap orang pasti pernah keliru dan salah. Papa/mama yakin ini adalah pelajaran berharga buat kita semua dan mulai besok kamu yang memutuskan yang terbaik”. Dan bila ternyata anak kita yang mengungkit kekeliruannya di masa lalu, kita cukup memberikan anggukan kepala serta pujian bahwa dia mau belajar dari pengalaman. Berilah pujian dengan ungkapan, “Kamu memang anak papa yang luar biasa. Papa bangga kamu bisa mengambil hikmah positif dari kejadian yang kamu alami”.


Kebiasaan 24: Suka membandingkan
Kebanyakan orang tua, entah sadar atau tidak justru sering membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain/ satu sama lain. Contohnya, “Coba kalo kamu mau rajin belajar seperti kakak, pasti nilai rapor kamu tidak seperti ini!”.

Apa akibatnya?
Jika kita sering melakukan kebiasaan membandingkan satu dengan yang lain, maka akan mengakibatkan anak makin tidak menyukai kita dan merasa iri dan benci pada si pembanding. Sementara itu, anak si pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati. Anak yang sering dibandingkan akan menjadi anak pembangkang dan berperilaku makin buruk serta berupaya menjatuhkan si pembanding dengan berbagai cara. Kita secara tidak sadar telah memicu pertengkaran diantara anak-anak kita sendiri.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekali-kali membanding-bandingkan satu dengan lainnya, karena setiap anak terlahir dengan membawa perbedaan. Catat perubahan perilaku masing-masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah perilaku anak yang sama di masa lalu dengan perilaku anak yang sama di masa kini. Motivasilah terus untuk maju. Pujilah segala usaha kerasnya. Berikan ungkapan, “Sayang, Papa/mama perhatikan dulu kamu itu hebat lho seringkali menolong adikmu. Tapi kok sekarang Papa/mama tidak pernah lagi melihat kamu melakukannya ya? Kenapa sayang?” atau “Eh, biasanya anak Papa/mama suka merapikan tempat tidur ya, kenapa hari ini nggak?”.


Kebiasaan 25: Paling benar dan paling tahu segalanya
Pernah tidak kita sebagai orang tua melontarkan pernyataan seperti, “Ah…kamu ini masih bau kencur tahu apa soal hidup”. Atau “Kamu tau ngga, Papa dan Mama sudah banyak makan asam garamnya kehidupan, jadi kamu ngga perlu nasihatin Papa-Mama”.

Apa akibatnya?
Jika kita memiliki kebiasaan ini, maka kita telah membuat proses komunikasi dengan anak-anak mengalami jalan buntu. Meskipun kita bermaksud menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak malah semacam kesombongan yang luar biasa. Tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasihat orang yang sombong.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Seringkali usia orang tua dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan dan pengalaman. Namun untuk saat ini, kondisi itu sudah tidak tepat lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan banyak mengikuti kegiatan baik yang bersifat bisnis atau sosial, lokal/internasiona, dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman. Seperti seorang pilot, kepiawaiannya dinilai dari jumlah jam terbang, bukan dinilai berdasarkan usia. Jadi janganlah pernah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat dan paling banyak makan asam garam. Kita harus selalu ingat sifat padi yang semakin berisi akan semakin merunduk. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita, tanpa merasa lebih rendah. Bila kita kurang setuju dengan pandangan anak kita, dukunglah idenya terlebih dahulu, kemudian ceritakan pengalaman kita yang berkaitan dengan ide tadi.


Kebiasaan 26: Saling melempar tanggung jawab
Kita sering mendengar (atau mungkin mengalami) beberapa suami terhadap istri atau sebaliknya mengungkapkan pernyataan seperti, “Kamu sih memang tidak becus mendidik anak,” kata sang suami, kemudian sang istri tak kalah sengit menjawab, “Enak saja, selama ini kamu kemana saja?” tukas sang istri. Kemudian ditanggapi lagi oleh sang suami, “Lho itukan tugas kamu mendidik anak, aku tugasnya mencari nafkah. Jadi kalo ada apa-apa sama anak, ya kamulah yang paling bertanggung jawab!”. Begitulah pertempuran mulut yang tiada berujung dan tiada berakhir.

Apa akibatnya?
Mendidik anak merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu bapak dan ibu. Bila tidak maka proses pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil, sehingga yang sering terjadi adalah saling menyalahkan satu sama lain. Anak kita akan merasa tindakan buruknya bukan karena kesalahannya, melainkan disebabkan oleh ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Hentikan saling menyalahkan sekarang juga! Ambilah tanggung jawab kita selaku orang tua secara berimbang. Keberhasilan pendidikan ada di tangan kita berdua dan merupakan kerja sama tim. Belajarlah bagaimana cara mendidik yang benar dari sumber-sumber yang tepat dan jangan pernah ada alasan tidak ada waktu. Jadi aturlah waktu kita dengan berbagai cara dan kompaklah selalu dengan pasangan. Ingat selalu pertanyaan bijak yang sebaiknya kita ajukan sebelum menyalahkan pasangan kita, dan renungkanlah, “Apa peran yang sudah saya berikan dalam proses pendidikan anak-anak saya selama ini?”


Kebiasaan 27: Kakak harus selalu mengalah
Ada seorang kakak beradik, yang diasuh oleh neneknya. Suatu hari adiknya menangis dan tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan benar, si nenek selalu memarahi si kakak. Si nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah dengan adiknya.” Begitu ucapan yang selalu keluar dari mulut si nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.

Apa akibatnya?
Ada suatu budaya di negeri ini bahwa anak yang lebih tua harus selalu mengalah dengan saudaranya yang lebih muda, sehingga tanpa melihat siapa yang salah dan siapa yang benar, setiap kali adiknya menangis, selalu kakaknya yang disalahkan, yang mengakibatkan anak yang paling tua tidak memiliki rasa percaya diri dan membenci adiknya. Lama kelamaan si kakak mulai banyak melawan atas ketidak adilan ini dan kedua anak bersaudara ini makin sering bertengkar. Sementara si adik, yang selalu dibela, menjadi semakin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan memberontak.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Anak harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah ia lebih muda atau lebih tua usianya. Maka berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap dari anak kita secara berimbang pada saat mereka bertengkar. Tunjukkan hal-hal yang benar dan salah pada masing-masing. Damaikanlah mereka segera, serta jelaskan nilai-nilai benar yang berlaku dan perlu mereka taati bersama.


Kebiasaan 28: Menghukum secara fisik
Dalam kondisi emosi, kita cenderung menjadi sensitif hingga pada akhirnya suara kita yang keras berubah menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.

Apa akibatnya?
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, maka kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan beringas, suka menyakiti orang lain dan membangkang. Pada saat ia bersosialisasi, percaya atau tidak anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang sejak kecil terbiasa dipukul oleh orang tuanya akan menyimpan dendam dalam batinnya. Rasa dendam terkadang ia lampiaskan kembali pada orangtuanya sendiri, orang lain atau teman-teman sebayanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul atau manampar bahkan menggunakan alat seperti ikat pinggang atau rotan. Anak kita adalah anak manusia yang telah dirancang oleh Penciptanya untuk bisa diatur dengan kata-kata. Bila kata-kata kita sudah tidak lagi didengar oleh anak, koreksilah segera diri kita, pasti ada yang salah dengan kebiasaan kita hingga anak tidak menurut. Seandainya dulu kita pernah diperlakukan demikian oleh orang tua kita, maafkanlah orang tua kita dan jangan lanjutkan kebiasaan yang sangat buruk ini pada anak kita. Hukuman pukulan lebih cocok kepada binatang daripada manusia. Gunakanlah media dialog, pujian dan kelembutan.

Kebiasaan 29: Menunda atau membatalkan hukuman
Pernahkah kita pada saat anak minta dibelikan permen atau mainan, dan anak merengek, kita lalu menjanjikan konsekuensi hukuman atau sangsi, tetapi kita menunda atau bahkan membatalkannya karena alasan lupa atau kasihan? Atau ketika anak berhenti merengek, kita menganggap masalah sudah selesai dan akhirnya kita menunda atau membatalkan hukuman.

Apa akibatnya?
Bila kita tidak melaksanakan kesepakatan, anak akan menilai kita sebagai orang tua yang selalu lupa atau hanya mengancam. Maka sering terjadi anak mempunyai pola pikir untuk selalu melanggar kesepakatan karena sangsi atau hukuman tidak pernah terjadi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita sudah punya kesepakatan dan anak melanggarnya, sangsi atau hukuman tetap berlaku. Segera laksanakan sangsi itu dan jangan menunda-nunda. Bila kita kasihan mungkin kita bisa kurangi sangsi atau hukumannya. Perlu diingat bahwa sangsi atau hukuman yang dimaksud bukanlah sangsi atau hukuman secara fisik, tetapi lebih pada pengurangan bobot kesukaannya seperti mengurangi jam menonton televisi, mengurangi jam bermain, dan lainnya.


Kebiasaan 30: Terpancing emosi
Anak-anak dalam memaksakan kehendak, biasanya sering menguji emosi kita dengan perilakunya yang mengesalkan seperti menangis, merengek, berguling atau memukul. Sehingga akhirnya kita sering terpancing, menjadi marah dan lepas kontrol atau malah cenderung mengalah. Pernahkah kita mengalaminya?

Apa akibatnya?
Bila kita terpancing, anak kitalah yang merasa menang, sehingga anak kita merasa bisa mengendalikan orang tuanya. Jika ini terjadi maka ia akan terus berusaha untuk mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih besar lagi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Yang terbaik adalah diam, tidak bicara dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulahnya. Bila anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah itu lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan mata pada anak yang berulah, hingga ia berhenti berulah. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang memperhatikan kita, dan jangan ada pula orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang berulah tadi. Sekali kita berhasil membuat anak kita mengalah, maka selanjutnya dia tidak akan mengulangi untuk yang kedua kalinya.


Kebiasaan 31: Menghukum anak saat kita marah
Seringkali bila anak kita berbuat salah, kita menjadi marah dan selalu memberikan sanksi atau hukuman, apalagi ketika emosi kita sedang memuncak. Sanksi atau hukuman yang kita berikan kebanyakan berupa hukuman secara fisik.

Apa akibatnya?
Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata-kata maupun hukuman akan cenderung untuk menyakiti dan tidak menjadikan anak kita lebih baik, sehingga akan berakibat fatal, yaitu kita telah melukai hati anak kita dan anak seringkali tidak bisa melupakannya. Selain itu anak juga bisa mendendam pada orang tuanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bila dalam keadaan marah, segeralah menjauh dari anak, seperti masuk kamar atau mandi dengan air yang sejuk. Jika kita bertekad akan memberikan sanksi/hukuman, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk sanksi/hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Pilihlah bentuk sanksi/hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, dsb. Harap diingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.


Kebiasaan 32: Mengejek
Ada orang tua yang suka memeloroti celana anaknya untuk jadi bahan tertawaan atau seorang anak yang sedang menyanyi dan kita mengejeknya, “Cie…cie…mirip Ariel nich ye”.

Apa akibatnya?
Orang tua yang biasa menggoda anaknya sering kali secara tidak sadar telah membuat anaknya kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu, sehingga hal ini akan membangun ketidak sukaan anak kepada kita akhirnya anak tidak menghargai kita lagi, karena ia menganggap kita juga seperti teman-temannya yang suka menggodanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita ingin bercanda dengan anak, pilihlah materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau merendahkan dirinya. Jagalah batas-batas dan hindari bercanda yang membuat anak kita kesal atau malu. Bila sedang bercanda, ekspresi anak kita kesal dan meminta kita segera menghentikannya, segera hentikan dan jika perlu meminta maaflah atas kejadian yang baru terjadi. Katakanlah kita tidak bermaksud merendahkannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.


Kebiasaan 33: Menyindir
Beberapa orang tua terkadang tidak dapat menyampaikan hal-hal yang diinginkannya dengan baik dan jelas kepada anak, karena tidak tahu caranya. Karena sudah mencapai batas kesabarannya, terkadang orang tua mengungkapkan kemarahannya dengan kata-kata singkat yang pedas dengan maksud menyindir seperti, “Tumben hari gini sudah pulang” atau ”Sering-sering aja pulang malem!”.

Apa akibatnya?
Kebiasaan ini akan membuat anak semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tak ada seorang pun yang berubah menjadi baik karena sindiran. Katakanlah secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/mama khawatir akan keselamatan kamu kalo kamu pulang terlalu malam.”


Kebiasaan 34: Memberikan julukan yang buruk
Kita dengan begitu mudahnya sering memberikan julukan yang buruk, seperti si gendut, si lemot, si cengeng, biang kerok, dsb.

Apa akibatnya?
Kebiasaan memberikan julukan yang buruk pada anak akan mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya diri/minder, kebencian dan perlawanan. Adakalanya anak ingin membuktikan kehebatan julukan tersebut pada orang tuanya. Misal, anak yang diberi julukan biang kerok, ia akan berpikir bahwa apa yang diperbuatnya tidaklah keliru, karena memang dia adalah biang kerok.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Gantilah segera julukan yang buruk dengan yang baik, seperti anak baik, anak hebat, anak bijaksana atau panggil dia dengan nama panggilan yang disukainya saja. Cobalah tanya pada anak kita, panggilan apa yang disukainya. Anak pasti akan lebih menyukai kita.


Kebiasaan 35: Mengumpan anak yang rewel
Kita sering mengalihkan perhatian anak kepada hal/barang lain pada saat anak kita marah, merengek, menangis atau meminta sesuatu dengan memaksa. Contohnya, “Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…?” atau “Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”.

Apa akibatnya?
Pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkan, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Ia tidak ingin dialihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat penyelesainnya. Semakin kita berusaha mengalihkannya, semakin marah anak kita.

Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan apa yang diinginkan anak kita dengan membicarakanya dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita belum membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa yang kita inginkan, seperti, “Papa/mama belum bisa membelikan mainan itu sekarang. Jadi kamu mau harus menabung dulu. Nanti papa/mama ajari kamu cara menabung. Bila kamu terus merengek, kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang”. Jika anak tetap merengek, segeralah kita pulang meski urusan belanja belum selesai. Untuk urusan belanja, kita masih bisa menundanya, tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.


Kebiasaan 36: Televisi sebagai agen pendidik anak
Menurut penelitian, sebagian besar perilaku buruk ditiru anak dari media visual dan sebagian lagi dari media cetak dan lingkungan. Jika kita membiarkan anak kita berlama-lama menonton TV, maka kita telah menyerahkan anak kita untuk dididik oleh ibu kedua.

Apa akibatnya?
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal, yaitu :
  • Terbentuk berdasarkan Siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya : kita atau TV?
  • Terbentuk oleh siapa yang lebih dia percaya, apakah pada kata-kata kita atau ketepatan waktu program-program TV?
  • Terbentuk oleh siapa yang menyampaikan lebih menyenangkan, Apakah kita atau program-program TV?
  • Terbentuk oleh siapa yang lebih sering menemaninya, kita atau program-program TV yang sangat setia menemani anak kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tsb diatas.
  • Ganti kegiatan menonton TV anak dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak-anak.
  • Gantilah program TV di rumah dengan film-film pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari film kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.


Kebiasaan 37: Mengajari anak untuk membalas

Bila anak kita dipukul oleh anak lain, sering kita menjadi tidak sabar dan memprovokasi anak untuk membalas dengan tindakan yang sama seperti anak lain itu. Alasan yang sering kita utarakan adalah supaya ada keadilan, masing-masing merasakan sakit.

Apa akibatnya?
Kita telah mendidik anak kita sendiri untuk mendendam dengan selalu membalas segala bentuk pukulan atau tindakan menyakiti lain yang diterimanya. Anak akan teringat terus hal-hal yang diajarkan oleh kita tentang konsep membalas itu. Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang kita sampaikan kepadanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Lebih baik kita mengajarkan anak untuk menghindari teman-temannya yang suka menyakiti. Lalu sampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya dan ajak orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio maupun media lainnya.
  disalin dari www.bukuzu.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar