Senin, 07 April 2014

Makalah Metode dan Tujuan Pesantren di Indonesia

BABI
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Persoalan yang dihadapi pesantren berikut adaptasi yang dibutuhkan tidak hanya berkaitan dengan kurikulum. Kemajuan perangkat media massa dan telekomunikasi, transportasi, perubahan basis ekonomi kalangan orang tua santri, percepatan modernisasi. Pesantren menjadi sorotan tajam berbagai pihak dalam satu dasawarsa terahir ini. Pengaitannya dengan persoalan sosial politik lebih menonjol daripada aspirasi terhadap dinamika sebagai lembaga pendidikan, padahal sejak awal peran sebagai lembaga pendidikan itulah yang utama dan perkembangan sosial politik berposisi sebagai sumber belajar warga pesantren.  Yang optimis memandang bahwa pesantren tetap dapat berkembang secara memadai dengan melakukan berbagai pembenahan internal dan pergerakan untu memperluas ruang hidupnya di antara sekian banyak jenis lembaga pendidikan yang tumbuh pesat di tanah air dan belum dapat menggantikan peran pondok pesantren. Yang pesimis melihat bahwa melemahnya peran pesantren sebagai lembaga pendidikan terjadi karena peran politiknya lebih menonjol sehingga pesantren sebagai lembaga pendidikan terjadi karena peran politiknya lebih menonjol. Yang kritis berusaha memahami bahwa dalam masa transisi ini pesantren terlihat memberikan pelajaran yang berharga tentang perkembangan lembaga pendidikan yang mengajar di masyarakat. Kegagalan dalam satu hal dan keberhasilannya dalam hal lain diakui. Kesemuanya dipahami sebagai sesuatu yang menarik untuk ditelaah karena terbukti bahwa pesnatren sendiri memperlakukannya sebagai sumber belajar untuk tetap berfungsi sebagai lembaga pendidikan sambil membangun pengetahuan bersama masyarakatnya.

B.    Rumusan Masalah
Dalam pembahasan makalan ini kami membatasi perumusan masalah yaitu:
1.    Apa tujuan pendidikan di pesantren?
2.    Bagaimana metode pendidikan di pesnatren?

C.    Tujuan Penulisan
1.    Untuk memberikan sedikit gambaran tentang metode dan tujuan pesantren di Indonesia.
2.    Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tujuan Pendidikan di Pesantren
Pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan mempunyai tujuan yang dirumuskan dengan jelas sebagai acuan program-program pendidikan yang diselenggarakannya. Profesor Mastuhu menjelaskan bahwa tujuan utama pesantren adalah untuk mencapai hikmah atau kebijaksanaan berdasarkan pada ajaran Islam yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang arti kehidupan serta realisasi dari pean-peran dan tanggung jawab sosial.
Pesantren merumuskan beberapa tujuan pendidikannya yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu:
1.    Pembentukan akhlak atau kepribadian
Kesalehan para santri merupakan tujuan yang paling utama dari pesantren. Seorang kiai menyebut luluan pesantren yang ideal adalah  shalih atau santri yang berilmu dan berakhlak karimah. Dalam hal ini santri diharapkan menjadi manusia seutuhnya yaitu yang mendalami ilmu agama serta mengamalkannya dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat.
Peringkat kedua adalah shalih ghairu ‘alim atau santri yang moralitasnya tinggi tetapi penguasaan ilmunya kurang mendalam. Disini tampak bahwa tingginya moralitas tetap dikedepankan sampai-sampai mengalahkan kedalaman ilmu. Santri jenis ini bermanfaat di dalam masyarakat daripada santri yang ‘alim akan tetapi tidak shalih. Peringkat yang ketiga adalah santri ghairu shalih wa ghairu ‘alim, santri ini tidak saleh dan juga tidak pandai. Jika moralitasnya buruk,  maka keburukan itu hanya untuk dirinya sendiri, tidak sampai merusak moralitas masyarakat sampai ke tahapan mengacaukan ajaran. Peringkat ke empat adalah adalah santri yang ‘alim ghairu shalih yakni santri yang berilmu tetapi bermoral buruk. Ilmu dan kepandaiannya akan berbahaya bagi dirinya sendiri dan masyarakat.
Idealisasi out put santri menjadi seorang ‘alim shalih seperti ini kemudian diterjemahkan dalam penempaan cara hidup, nilai dan prinsip hidup sehari-hari di pesantren. Nilai-nilai tersebut membentuk perilaku santri yang kemudian membangun nilai-nilai mereka dalam sebuah sub-tradisi yang kemudian membangunkan nilai-nilai mereka berada dalam sebuah sub-tradisi di pesantren seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian dan keteladanan yang telah sangat lama dipraktikkan di pesantren dan menjadi ciri khasnya. 
Prinisp ikhlas ini juga ditopang dengan prinsip kesederhanaan. Pola hidup sederhana terlihat mulai dari cara santri berpakaian, menyediakan makanan dan minuman. Sederhana tidak berarti kekurangan, namun sikap hidup sederhana yaitu tidak berlebihan, meskipun halal. Prinsip hidup sederhana ini juga tampak pada nilai yang dikembangkan yaitu selalu hidup sabar, tawakkal, zuhud dan wirai.
Di samping beberapa contoh akhlak di atas, santri di pesantren juga ditempa dengan membangun kemandirian dirinya, terutama secara ekonomi. Kiai selalu mendorong santri untuk tidak menjadikan pekerjaan pegawai negeri sebagai prioritas bagi karirnya, melainkan hidup berwirausaha. Bahkan beberapa kiai menegaskan menjadi pegawai negeri itu identik dengan mengabdiakan ilmu kepada kekuasaan. Dalam konteks yang lebih modern, para santri dalam hal ini sering dilibatkan secara langsung dalam unit-unit kegiatan pesantren, seperti dalam pengelolah unit usaha koperasi dan sebagainya. Model eksperimentasi semacam ini dapat mendorong para santri untuk mengembangkan diri sehingga diharapkan mereka tidak gagap ketika telah kembali atau bergumul dengan masyarakat luas. 
Perlakuan Kiai yang sama terhadap para santrinya tanpa membedakan latar belakang sosial ekonominya mereka memberikan pemahaman bahwa status mereka di pesantren adalah sama sehingga kesombongan adalah suatu sifat yang harus dihindari.  Di samping itu, sikap Kiai tersebut dapat memberi contoh kepada santri tentang perlakuan terhadap sesama manusia. Cinta kasih sangat tampak dalam pembelajaran. Hal itu sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu menumbuhkan manusia yang kuat secara keagamaan, keilmuan, kejiwaan dan keragaannya untuk dapat mengembang tanggung jawab dalam kehidupan di masyarakat. Keseimbangan tanggung jawab individual dan sosial berdasarkan cinta kasih itu menempatkan tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari upaya membangun kehidupan umat. 

2.    Penguatan Kompetensi santri
Kompetensi dikuatkan melalui empat jenjang tujuan yaitu tujuan-tujuan awal (wasail), tujuan-tujuan antara (ahdaf), tujuan-tujuan pokok (maqashid) dan tujuan akhir (ghayah).
a.    Wasail
Penguasaan atas mata pelajaran di pesantren di tempatkan sebagai wasail, baik penguasaan itu berada dalam ranah kognitif, afektif maupun psikomotorik. Rumusan wasail dapat dikenali dari rincian mata pelajaran yang masing-masing menguatkan kompetensi santri di berbagai bidang ilmu agama dan penunjangnya. Tekanan pada masing-masing mata pelajaran dan sub mata pelajaran yang disesuaikan dengan misi dan kekhasan pesantren.
b.    Ahdaf
Pada jenjang ula, wustha, ‘ulya diberi mata pelajaran yang berbeda sesuai untuk keperluan santri sebagai pribadi muslim. Paket pengalamaan dan kesempatan pada masing-maisng jenjang juga terlihat jelas di banyak pesantren. Di jenjang dasar pengalaman dan tangung jawab itu terkait erat dengan tanggung jawab sebagai pribadi. Di jenjang menengah terkait dengan tanggung jawab untuk mengurus sejawat santri dalam satu kamar atau beberapa kamar asrama, juga tugas untuk ikut serta membantu pengurus asrama baik dalam urusan kurikulum, kesantrian maupun sarana dan prasarana. Dan pada jenjang ketiga tanggung jawab itu sudah meluas sampai menjangkau penyelenggaraan musyawarah mata pelajaran dan kecakapan ini membekali para santri untuk ikut serta dalam tugas membantuk pelaksanaan pengajaran dan menghadiri acara-acara di masyarakat sekitar pesantren.
c.    Maqashid
Tujuan pokok yang ingin dihasilkan dari proses pendidikan di lembaga pesantren adalah lahirnya mutafaqqih fi ad-din yaitu orang yang ahli di bidang ilmu agama Islam. Karena cabang-cabang ilmu di dalam agama Islam itu banyak maka selalu terdapat kekhususan sesuai dengan kemampuan santri. Setelah santri dapat bertanggung jawab dalam mengelola urusan kepesantrenan dan terlihat kemauan bidang garapannya, maka dimulailan karir dirinya. Karir itu akan menjadi media bagi diri santri untuk mengasah lebih lanjut kompetensi dirinya sebagai lulusan pesantren. Di situlah ia mengambil tempat dalam hidup, menekuni, menumbuhkan , danmengembangkannya.


d.    Ghayah
Tujuan akhir adalah mencapai ridha Alloh. Itulah misteri kehidupan yang terus memanggil dan yang membuat semua kesulitan terasa sebagai rute-rute dan terimal-terminal manusiawi yang wajar untuk dilalui.

3.    Penyebaran ilmu
Penyebaran ilmu menjadi pilar utama bagi menyebarnya ajaran agama Islam. Kalangan pesantren mengemas penyebaran ilmu ini dalam kegiatan dakwah. Kewajiban ini bahkan menjaid sebuah keyakinan bagi kalangan pesantren, sebagai pembeda antara orang mukmin dengan munafik. Imam al Ghazali  lebih keras menyatakan bahwa meninggalkan amar makruf nahi munkar berarti keluar dari komunitas orang mukmin . Institusi pesantren sendiri sebenarnya merupakan perwujudan dari pelembagaan prinsip amar makruf nahi munkar. Pondok pesantren tidak sekedar mencetak individu pendakwah yang melakukan amar makruf nahi munkar, melainkan pesantren sebagia lembaga itu sendirilah yang berperan sebagai pendakwah.
Dalam penyebaran ilmu itu terlihat keragaman pendekatan untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama, yang biasanya kemudian disebut sebagai dakwah. Kata dakwah dalam Al Qur’an disebut ratusan kali dalam berbagai bentuk dan konteks, secara bahasa makna dakwah adalah memanggil, menyeru, menegaskan, membela, memohon, meminta atau berdoa.

B.    Metode Pendidikan
Metode pendidikan membicarakan cara-cara yang ditempuh guru untuk memudahkan murid memperoleh ilmu pengetahuan, menumbuhkan pengetahuan ke dalam diri penuntut ilmu dan menerapkannya dalam kehiduan. Untuk memahami cara-cara itu, maka tidak dapat mengabaikan pengertian ilmu penegtahuan dan cara memperolehnya. Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Khaldun adalah kemampuan manusia untuk membuat analisis dan sintesis sebagai hasil dari proses berpikir.  Dalam proses berpikir menurut Ibnu Khaldun ada tiga tingkatan yaitu:
1.    Perubahan pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam yang berubah dengan maksud supaya manusa mampu menyeleksi dengan kemampuannya sendiri. Bentuk pemikiran semacam ini kebanyakan berupa persepsi yang dapat membantu manusia membedakan segala sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, dengan begitu dapat menolak yang tidak bermanfaat.
2.    Pikiran yang melengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang lain. Bentuk pemikiran seperti ini kebanyakan berupa apersepsi yang dicapai manusia melalui pengalaman, hingga benar-benar dirasakan manfaatnya.
3.    Pikiran yang melengkapi manusia dengan pengetahuan atau pengetahuan hipotesis mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. Bentuk pemikiran seperti ini merupakan gabungan persepsi dan apersespi yang tersusun secara khusus yang dapat membentuk sebuah pengetahuan.
Metode pengajaran di pesantren adalah bandhongan atau wetonan dan sorogan. Bandhongan dilakukan dengan cara kiai membacakan teks kitab yang berbahasa Arab menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal dan sekaligus menjelaskan maksud yang terkandung dalam kitab tersebut. Metode ini diakukan dalam rangla memenuhi kmpetensi kognitif santri dan memperluas referensi keilmuan bagi mereka.  Selain bandhongan banyak pesantren yang juga menerapkan model kelas sebagaimana madrasah atau sekolah. Dalam model ini santri dikelompokkan menurut tingkat kemampuan penguasaan ilmunya.
Fleksibilitas kurikulum di pesantren dengan keterlibatan santri, misalnya dalam penentuan kitab yang dibaca dalam metode bandhongan, diharapkan mampu meningkatkan kompetensi afektif santri. Minat santri untuk belajar di pesantren dan agar selalu termotivasi dapat selalu ditumbuhkan jika santri ikut merasa memiliki rancangan kurikulum bagi dirinya sendiri. Pada dasarnya hampir selauruh aktivitas di pesantren mencerminkan prinsip belajar melalui praktik. Prinsip ini efektif untuk melihat dan mengukur kompetensi psikomotorik santri. Aktivitas learning by doing belajar sambil melakukan ini seperti ikut terlibat dalam pembangunan fisik pesantren dan pembangunan non-fisik pesantren. Begitu juga, belajar praktik ini juga seringkali berkaitan dengan pemecahan masalah yang harus diselesaikan oleh santri, misalnya masalah-masalah yang berkaitan dengan hidup bermasyarakat di dalam pesantren. Program-program kecakapan hidup sebagaimana telah disinggung di atas erat kaitannya dengan metode yang mencerdaskan dan memberdayakan ini.
Metode manapun yang dipilih, Abu Al ‘Anain mengingatkan enam prinsip untuk menentukan baik tidaknya metode pendidikan Islam dilihat dari filsafat pendidikan Islam yaitu apabila memenuhi beberapa ciri berikut:
1.    Bersumber dan diambil dari jiwa ajaran dan akhlak Islam yang mulia sehingga menjadi bagian terpadu dengan materi dan tujuan pendidikan Islam.
2.    Fleksibel dapat menerima perubahan dan penyesuaian dengan keadaan dan suasana proses pendidikan.
3.    Selalu menghubungkan teori dan praktik, proses belajar dengan amal dan harapan dengan pemahaman secara terpadu.
4.    Menghindari cara-cara mengajar yang bersifat meringkas, karena ringkasan itu merusak kemampuan-kemampuan rinci keilmuan yang berguna.
5.    Menekankan kebebasan peserta didik untuk berdiskusi, berdebat dan berdialog dalam cara sopan dan saling menghormati.
6.    Menghormati hak dan kedudukan pendidik untuk memlihi metode yang menurutnya sesuai dengan watak pelajaran dan warga belajar mengikutinya.
Guna mendukung penerapan prinsip-prinsip itu, maka terdapat lima rute yang dapat ditempuh penyelenggara pendidikan dan guru yaitu:
1.    Bimbingan dan pengarahan yang berjenjang dan menyesuaikan tema-tema krusial, tingkat-tingkat pemahaman, keterlibatan dan tanggung jawab warga pendidikan.
2.    Kepemimpinan yang baik di lingkup para penyelenggara, guru dan murid sehingga semua selaras dengan kebutuhan pendidikan.
3.    Kisah-kisah yang bermuatkan pesan-pesna moral untuk diteladani atau dilema nilai untuk memancing klarifikasi nilai diantara sesama murid dan antara murid dengan guru.
4.    Simulasi yang memberikan peluang dalam bentuk multisensori aau mengaktifkan semua indera murid sehingga dapat mengakomodasi jenis-jenis kecerdasan mereka.
5.    Motivasi dan penegakan disiplin, terutama untuk membangun kultur belajar yang menjunjung tinggi kebenaran, keterbukaan, keadilan dan keluhuran.

BAB III
KESIMPULAN

Pesantren merumuskan beberapa tujuan pendidikannya yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu Pembentukan akhlak atau kepribadian Kesalehan para santri merupakan tujuan yang paling utama dari pesantren. Seorang kiai menyebut luluan pesantren yang ideal adalah  shalih atau santri yang berilmu dan berakhlak karimah. Dalam hal ini santri diharapkan menjadi manusia seutuhnya yaitu yang mendalami ilmu agama serta mengamalkannya dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat.  Penguatan Kompetensi santri, kompetensi dikuatkan melalui empat jenjang tujuan yaitu tujuan-tujuan awal (wasail), tujuan-tujuan antara (ahdaf), tujuan-tujuan pokok (maqashid) dan tujuan akhir (ghayah). Penyebaran ilmu, penyebaran ilmu menjadi pilar utama bagi menyebarnya ajaran agama Islam. Kalangan pesantren mengemas penyebaran ilmu ini dalam kegiatan dakwah. Kewajiban ini bahkan menjaid sebuah keyakinan bagi kalangan pesantren, sebagai pembeda antara orang mukmin dengan munafik.
Metode pendidikan membicarakan cara-cara yang ditempuh guru untuk memudahkan murid memperoleh ilmu pengetahuan, menumbuhkan pengetahuan ke dalam diri penuntut ilmu dan menerapkannya dalam kehiduan. Untuk memahami cara-cara itu, maka tidak dapat mengabaikan pengertian ilmu pengetahuan dan cara memperolehnya

DAFTAR PUSTAKA

Abd ‘Ala. Pembaharuan Pesantren. (Togyakarta : Pustaka Pesantren, 2006).

Abu al Qasim al Qusyairy an Naisaburi. Risalat al Qusyairiyah. (Beirut : Dar al Khair, tt).

Ali Khalil Abu Al Ainain. Falsafat at Tarbiyah al islamiyah fi al Qur’an al karim, Cetakan I, (ttp : dar a; Fikr al Arabi, 1980).

Amin Haidari, et al. Masa Depan Pesantren dalam tantangan Modernitas dan Kompleksitas Global. (Jakarta : IRD, 2004.

Manfred Oepen. Pesantren and Naional Development : Role and Potential. (The Impact of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia, 1988.

Mastuhu. Principle of Education in Pesantren. (Jakarta : FNS, 1988.

M Dian Nafi, et al. Praktis Pembelajaran Pesantren. (Yogyakarta : Lkis Pelangi Aksara, 2007.

Pradjarta Dirjosanjoto. Memelihara Umat : Kiai Pesantren Langgar di Jawa. (Yogyakarta : Lkis, 1999.

Zain ad-din bin Abd Aziz al Malibari. Irsyad al Ibad ila Sabili ar Rasyad.

Tujuan Pesantren di Indonesia.  http://wordpress/TujuanpesantrendiIndonesia.com, diakses tanggal 1 Juni 2011.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar