Rabu, 16 April 2014

Perbandingan Pendidikan Ibnu Khaldun dan Muhammad Abduh

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu penopang sebuah negara. Kita ingat ketika negeri Jepang luluh lantak dibombardir bon atom pada tahun 1945, kono salah satu hal yang dicari pertama kali adalah seorang guru. Artinya, betapa Jepang sangat membutuhkan tenaga pendidik untuk membangun kembali negaranya. Dengan hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan adalah suatu keniscayaan bagi sebuah negara yang menginginkan tercapainya kemajuan dalam segala bidang.
Tanpa SDM yang mumpuni kemajuan sebuah negara adalah mustahil dan untuk menghasilkan SDM yang mumpuni inilah dibutuhkan sistem pendidikan yang baik.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia pendidikan diartikan sebagai sperbuatan mendidik. Menurut Ahmad D Marimba pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pemiliki terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Selain itu pendidikan dapat diartikan sebagai segala kegiatan yang beorientasi pada pengembangan, pengarahan dan pembentukan kepribadian. Hal inilah yang melatarbelakangi perumusan masalah pada perbandingan pemikiran pendidikan antara tiga tokoh.

B.    Rumusan Permasalahan
Untuk membatasi permasalahan pada makalah ini maka kami membatas permasalahan yang dibahas sebagai berikut:
1.    Apa tujuan pendidikan menurut ketiga tokoh tersebut?
2.    Apa kurikulum pendidikan menurut ketiga tokoh tersebut?
3.    Siapa pendidik dan peserta didik itu?


C.    Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya:
1.    Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Perbandingan Pendidikan pada semester VI Prodi S1 PAI.
2.    Untuk memberikan sedikit gambaran tentang pemikiran pendidikan dari ketiga tokoh yaitu Ibnu Khaldun, Muhammad Abduh dan Zakiyah darajat.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan

Pendidikan adalah suatu proses untuk menghasilkan suatu out put yang mengarah kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berdisiplin tinggi.
Rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun adalah merupakan hasil dari berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat sejarah dan sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan realita. Sebagai seorang ahli filsafat sejarah atau historical philosophy approach, karena kedua pendekatan tersebut akan mempengaruhi terhadap sistem dan pemikirannya dalam pembahasan setiap masalah, karena kedua pendekatan tersebut mampu merumuskan beberapa pendapat dan interpretasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah dilalui.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini, memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a.    Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b.    Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakkan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan mengutamakan peradaban secara keseluruhan.
c.    Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam kehidupannya, guna mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.

Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta, Manusia menurut Ibnu Khaldun adalah bukan merupakan produk nenek moyang, akan tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu lingkungan sosial merupakan pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak penilaian seorang manusia. Hal ini memberikan arti bahwa pendidik menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.
Manusia sebagai khalifah fil ardli, dibekali oleh Allah SWT akal pikiran, untuk mengatur, merekayasa, dan mengolah sumber daya alam untuk keperluan seluruh umat manusia, sehingga manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka manusia dikatakan sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lainnya, karena manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Kemampuan berpikirnya itu tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menarik peneliti terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.
Proses-proses yang semacam ini melahirkan perbedaan. Akal pikiran yang menghasilkan ilmu pengetahuan, juga dapat menuntun manusia ke jalan Ilahi dan meningkatkan derajat manusia sehingga manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hidupnya jiwa manusia karena ilmu pengetahuan, dan gelapnya hati manusia karena miskinnya ilmu pengetahuan.
Dengan akal pikiran inilah yang kemudian menjadikan manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat antara satu dengan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain telah lebih dahulu mengetahui.

 Hakikat dan Tujuan Pendidikan, Rumusan Ibnu Khaldun mengenai tujuan pendidikan adalah untuk:
a.    Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbuka pikiran dan kematangan individu kemudian kematangan ini kan mendapat faedah bagi masyarakat.
b.    Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya.

Hakikat Pendidik, Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a.    Prinsip pembiasaan
b.    Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c.    Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d.    Prinsip kontinuitas
e.    Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f.    Menghindari kekerasan dalam mengajar

Hakikat Peserta Didik, Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a.    Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
b.    Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c.    Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
d.    Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
e.    Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
f.    eserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.

Hakikat Kurikulum, Kurikulum adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari konsep epistemologinya.

Metode Pendidikan, Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya. Cirri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana alam di sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka. Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan pendidikan.
Pertama,, kebiasaan mendidik dengan metode “indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
Ketiga, Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan seperti itu, karena berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.
Ibnu Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya. Hal ini termasuk juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, maka pemukulan tidak boleh lebih dari tiga kali.

Hakikat Evaluasi Pendidikan, Evaluasi pendidikan Islam dapat dibagi batasan sebagai suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan Islam. Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan adalah dalam rangka menjelaskan tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan Islam kepada peserta didik. Sedangkan dalam ruang lingkup luas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam (dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai Pencipta, hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Spectrum kajian evaluasi dalam pendidikan Islam tidak hanya terkonsentrasi pada aspek kognitif, tetapi justru dibutuhkan keseimbangan yang terpadu antara penilaian iman, ilmu, dan amal. Sebab kualitas keimanan, keilmuan, dan amal shalihnya. Kesemuanya itu merupakan bahan pemikiran bagi pengembangan sistem evaluasi dalam pendidikan Islam.

B.    Perbandingan Pemikiran Pendidikan
1.    Tujuan Pendidikan
a.    Ibnu Khaldun
Peningkatan dan kemampuan berpikir, peningkatan segi kemasyarakatan manusia, peningkatan segi kerohanian manusia. Sehingga diharapkan pendidikan Islam mampu menciptakan manusia yang siap menghadapi berbagai fenomena sosial yang ada di sekitarnya.
b.    Muhammad Abduh
Pendidikan haruslah mampu mengantarkan siswa sesuai apa profesi yang mau dijalani. Jadi murid memasuki sesuai keinginanya.
c.    Zakariyah Darajat
Tujuan umum pendidikan Islam yaitu peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang dimaksud dalam GBHN. Membina manusia agar menjadi hamba Alloh yang sholeh dengan seluruh aspek kehidupannya, perbuatan, pikiran dan perasaannya.

2.    Kurikulum
a.    Ibnu Khaldun
Kurikulum sebagai alat bantu pemahaman (ilmu bahasa, ilmu nahwu, balagah dan syair). Kedua kurikulum sekunder yaitu mata kuliah untuk mendukung memahami Islam (seperti logika, fisika, metafisika dan matematika). Ketiga kurikulum primer yaitu inti ajaran Islam (ilmu Fiqih, Hadits, tafsir dan sebagainya).
b.    Muhammad Abduh
Tingkat dasar kurikulumnya meliputi:
1)    Buku ikhtisar doktrin Islam berdasarkan ajaran Islam sunni tanpa menyebut perbedaan sektarian.
2)    Buku dasar etika dan moral dan menunjukkan antara benar dan salah.
3)    Sejarah Nabi, sahabat dan sebab-sebab kejayaan Islam
4)    Membaca, menulis, berhitung, prinsip-prinsip bahasa Arab atau kaidah-kaidah bahasa Arab, pelajaran agama (akidah, fiqih), pelajaran akhlak.
Sedangkan di Tingkat Menengah, sekolah ini harus bagi mereka yang ingin belajar syariat, militer, kedokteran atau ingin bekerja di pemerintahan. Kurikulumnya:
1)    Buku pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran dan prookol berdebat.
2)    Teks tentang doktrin yang menyampaikan soal-soal seperti dalil rasional, menentukan posisi tengah dalam upaya menghindari konflik, pendalaman terhadap perbedaan Islam dan Kristen, keefektifan doktrin Islam dalam membentuk kehidupan di dunia dan akhirat.
3)    Teks tentang benar dan salah, penggunaan nalar dan prinsip-prinsip doktrin.
4)    Sejarah penakhlukan dan penyebaran Islam
5)    Semua kurikulum sekolah dasar dan pengembangannya
Tingkat atas yaitu sekolah bagi calon guru dan kepala sekolah, kurikulumnya meliputi:
1)    Tafsir Al Qur’an
2)    Balagah dan bahasa Arab
3)    Ilmu Hadits
4)    Studi Moralitas
5)    Prinsip-Prinsip Fiqih
6)    Historigrafi
7)    Seni bicara dan meyakinkan
8)    Teologi dan pemahaman doktrin secara rasional.
c.    Zakariyah Darajat
Materi pendidikan Islam meliputi pengajaran keimanan, pengajaran akhlak, pengajaran ibadah, pengajaran fiqih, pengajaran ushul fiqih, pengajaran qiraat Qur’an, pengajaran tafsir, pengajaran ilmu tafsir, pengajaran ilmu Hadits dan pengajaran tarikh Islam.

3.    Pendidik
a.    Ibnu Khaldun
Haruslah orang yang berpengetahuan luas dan mempunyai kepribadian yang baik karena pendidik selain sebagai pengajar di dalam kelas, pendidik juga harus bisa menjadi contoh atau suri tauladan bagi peserta didiknya.
b.    Muhammad Abduh
Seorang pendidik dapat mengetahui dan mempertimbangkan apakah anak didiknya mampu memahami materi pelajaran dengan memakai metode tertentu dan apakah anak didik telah siap secara psikologis menerima materi pelajaran. Guru ketika ingin mengajar harus memposisikan sebagai anak didik, kemudian naik sedikit demi sedikit sampai pada derajat setinggi mungkin. Guru tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga spiritual dan akhlak. Profesi guru meliputi mendidik, mengajar dna melatih. Muhammad Abduh menghendaki guru yang profesional tahu akan ilmu pendidikan, ilmu psikologi dan sebagainya. Guru yang profesional menurutnya setidaknya memiliki kompetensi perilaku yang baik, pengetahuan yang luas, menguasai materi, seorang pendidik harus berakhlak mulia.
c.    Zakariyah Darajat
1)    Fungsi sentral guru adalah mendidik yang juga sejalan dengan atau dalam melakuakna kegiatan mengajar yaitu untuk membina seluruh kemampuan dan sikap yang baik dari murid sesuai dengan ajaran islam.
2)    Pendiidk dalam menjalani tugasnya harus mempunyai beberapa kompetensi yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan bahan ajar dan kompetensi dalam cara mengajar.

4.    Peserta Didik
a.    Ibnu Khaldun
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki potensi. Maka dari itu peserta didik membutuhkan bimbingan orang dewasa untuk mengembangkan potensi ke arah yang lebih baik.
b.    Muhammad Abduh
Manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan dengan memiliki potensi-potensi. Dalam kata lain manusia lahir ke dunia ini tidak seperti kertas kosong sebagaimana dalam teori tabularasa. Diantara potensi-potensi lahiriyah (bawaan) manusia, khusunya potensi aqliyah tidak berkembang begitu saja tanapa ada proses pendidikan. Artinya, potensi aqliyah tidak berfungsi sempurna tanpa adanya proses pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan  adalah sarana untuk mengembangkan potensi aqliyah manusia itu. Pada tahap ini, Muhammad Abduh dekat pada aliran konvergensi daripada aliran nativisme dan empirisme.
c.    Zakariyah Darajat
1)    Peserta didik tingkat Taman Kanak-Kanak hanya berpikir terkait dengan apa yang dapat dijangkau oleh panca inderanya
2)    Pesreta didik tingkat Sekolah Dasar telah mampu memahami hal yang abstrak dan pemikirannya yang logis baru berkembang.
3)    Peserta didik tingkat SMP kecerdasannya mengalami perkembangan hampir selesai. Tidak mau menerima lagi sesuatu yang tidak masuk akal.
4)    Peserta didik tingkat SMA, terjadi perkembangan pribadi dan sosial, ada rasa ingin diakui oleh teman sebayanya.
5)    Peserta didik tingkat Perguruan Tinggi, pembinaan kepribadian, sosial, ideologi dan agama.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan dari ketiga tokoh pada dasarnya sama. Hanya saja pada tujuan Muhammad Abduh lebih terlihat bahwa pendidikan harus mampu mengantarkan peserta didik agar mampu meraih cita-cita yang ingin dicapai oleh peserta didik. Dalam hal kurikulum yang ditawarkan oleh ketiga tokoh sangat terlihat sekali perbedaannya. Jika Ibnu Khaldun menawarkan kurikulum secara umum dimana kurikulum dibagai atas tiga kategori. Sedangkan Muhamamd Abduh lebih sistematis dalam menawarkan kurikulum yaitu pembagian kurikulum sudah dibagi berdasarkan jenjang pendidikan yang ditempuh oleh siswa. Hal ini disebabkan karena perbedaan zaman. Jika masa Ibnu Khaldun pendidikan masih bersifat kalsik sedangkan pada masa Abduh paradigma pendidikan modern sedang berkembang. Sedangkan Zakariyah darajat lebih menekankan kurikulum pendidikan agama Islam. Itupun masih bersifat universal karena belum dibagi berdasarkan jenjang pendidikan. Mengenaio konsep pendidik, ketiga tokoh tidak ada perbedaan. Karena ketiganya menginginkan pendidik yang kompeten dalam berbagai hal. Tidak hanya itu pendidik bukan hanya mengajar di kelas tetapi juga memberikan pendidikan moral. Lebih jelas lagi Abduh menginginkan pendidik yang profesional. Konsep peserta didik ketiga tokoh ada perbedaan pada pemikiran Zakariyah. Jika menurut Ibnu Khaldun dan Abduh memiliki konsep yang sama mengenai pesreta didik, yaitu siswa merupakan manusia yang fitrah dengan memiliki potensi dan memerlukan bimbingan (pendidikan) dalam mengembangkan potensinya. Sedangkan Zakariyah membagi peserta didik menurut jenjang pendidikan. Dia mengelomokkan pendidik berdasarkan perkembangan kognitif yanga ada dalam diri pesserta didik. Berdasarkan uraian di atas, Ibnu Khaldun lebih memiliki kerang berfikir filosofis-logika. Sedangkan Muhammad Abduh lebih bersifat rasionalis-realistis an menyarankan integrasi ilmu pengetahuan umum dengan agama serta Zakariyah Darajat lebih menekankan pada pendidikan agama.

DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Syalabi. Sejarah Pendidikan Islam.

Ali Al Jumbulati Abdul Futuh At Tuwaanisi. Perbandingan Pendidikan islam.

Chalidjah Hasan. Kajian Perbandingan Pendidikan.

Imam Barnadib. Perbandingan Pendidikan.

JP. Sarumpat Perbandingan Pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar