Kamis, 17 April 2014

PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI DAN HASYIM ASY’ARI

PERBANDINGAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN
HASYIM ASY’ARI DAN JAMALUDDIN AL-AFGHANI

A. Pendahuluan
M. Amien Rais memaparkan bahwa gerakan pembaruan atau reformasi Islam mulai muncul sejak zaman Dinasti Umayyah, kala pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan dan secara sewenang-wenang pemerintah melakukan penindasan terhadap masyarakat. Aktor yang cukup berperan pada saat itu muncul dari gerakan sufi. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap penafsiran Islam yang terlalu menekankan pada aspek hukum. Selanjutnya, muncullah berturut-turut gerakan pembaruan atau reformasi Islam yang dicetuskan oleh Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Syah Waliullah, dan gerakan Sanusiah. Berbagai macam gerakan pembaruan yang muncul sebelum abad ke-20 ini diarahkan untuk menghentikan proses degenerasi umat dan untuk mempersempit kesenjangan antara Islam dalam teori (ideal Islam) dan Islam dalam praktik (historical Islam). Gerakan pembaruan yang menekankan pada membangkitkan semangat ijtihad ini muncul dari kesadaran umat Islam sendiri, bukan karena desakan dan pengaruh Barat
Gerakan pembaruan Islam pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 mengambil corak yang berbeda dengan gerakan pembaruan sebelumnya. Pada periode ini, gerakan pembaruan merupakan upaya reaktif umat Islam dalam menghadapi kolonialisme negara-negara Barat.  Secara historis, Harun Nasution memaparkan bahwa latar belakang gerakan pembaruan pada periode ini adalah jatuhnya Mesir ke tangan Barat. Kejadian ini menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan kemajuan peradaban Barat. Dari sini, para pemuka Islam mulai berpikir, bagaimana meningkatkan kesadaran dan kualitas umat Islam.  Di antara tokoh reformasi Islam yang cukup terkenal pada periode ini adalah Jamaluddin al-Afghani dan Hasyim Asy’ari. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan sepak terjang dan sumbangan pemikiran kedua tokoh ini bagi upaya pembaruan Islam.
B. Kehidupan Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh
1. Jamaluddin al-Afghani (1839-1897)
Nama lengkapnya adalah Jamaluddin al-Afghani as-Sayyid Muhammad bin Shafdar al-Husain. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Jamaluddin al-Afghani. Al-Afghani lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal di Istanbul pada tahun 1897. Al-Afghani masih memiliki ikatan darah dengan cucu Rasulullah saw., Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya adalah Sayyid Shafdar al-Husainiyyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali at-Turmudzi (seorang perawi hadis yang masyhur) dan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Tempat kelahiran al-Afghani sulit dipastikan. Ia mengaku dilahirkan di As’adabad, Konar, Distrik Kabul, Afghanistan, dari keluarga penganut Mazhab Hanafi. Versi lain mengatakan, ia dilahirkan di As’adabad dekat Hamadan, Persia (Iran). Pengakuan al-Afghani dilahirkan di As’adabad, Konar, Distrik Kabul, Afghanistan dilakukan dengan maksud menghindari kesewenang-wenangan penguasa Persia pada saat itu. Menurut Nikki R. Keddie, banyak sumber yang mengatakan bahwa al-Afghani tidak mungkin berasal dari Afghanistan, tetapi ia lahir dan mendapat pendidikan Syi’ah di Iran. Di antara sumber-sumber tersebut adalah surat untuk kemenakannya yang tinggal di Iran serta berbagai buku dan risalah bertahun yang ditemukan di antara tulisan-tulisan al-Afghani.  Ketika baru berusia 22 tahun, al-Afghani menjadi pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada tahun 1864, ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat menjadi perdana menteri oleh Muhammad A’zam Khan. Pada masa karier politiknya ini, Inggris sudah mulai ikut campur dalam urusan politik Afghanistan. Dalam pergolakan tersebut, al-Afghani memilih pihak yang berupaya menentang golongan pribumi yang disokong oleh Inggris. Pada tahun 1869, setelah pihaknya kalah dalam perseteruan politik, al-Afghani meninggalkan Afghanistan dan pergi menuju India.
Di India, al-Afghani tidak merasa lebih baik, karena saat itu India sudah berada di bawah kekuasaan Inggris. Oleh karena itu, pada tahun 1871, ia pindah menuju Mesir. Di Mesir, al-Afghani menetap di Kairo. Awal mula tinggal di Mesir, ia menjauhi persoalan-persoalan politik dan hanya memusatkan perhatian pada dunia ilmiah dan sastra Arab. Rumah tempat tinggalnya menjadi tempat pertemuan murid-muridnya dan para pengikutnya. Di sanalah ia memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Para pengikut al-Afghani di antaranya adalah orang-orang terkemuka di bidang pengadilan, dosen-dosen, para mahasiswa al-Azhar serta universitas lain, dan para pegawai pemerintahan. Di antara para muridnya tersebut ada yang kemudian menjadi pemimpin, seperti Muhammad Abduh (tokoh pembaru dan reformis Islam) dan Sa’ad Zaglul (pemimpin kemerdekaan Mesir).
Pada tahun 1876, campur tangan Inggris dalam urusan politik Mesir makin meningkat. Al-Afghani tidak tinggal diam. Akhirnya, ia menerjunkan diri ke dalam dunia politik. Supaya bisa bergaul dengan para tokoh politik Mesir, ia bergabung dengan organisasi Freemason Mesir, suatu organisasi yang disokong oleh kelompok anti zionis. Di sini, ia bertemu dengan Putra Mahkota Taufik. Pada tahun 1879, atas usaha keras al-Afghani, terbentuklah parta al-Hizb al-Wathani (Partai Nasional). Tujuan didirikannya partai ini adalah memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi penting dalam bidang militer. Dengan sokongan partai ini, al-Afghani berhasil menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa saat itu, Khedewi Ismail, yang kemudian digantikan kedudukannya oleh Putra Mahkota Taufik. Tetapi sayang, Taufik malah tidak dapat memenuhi tuntutan al-Hizb al-Wathani. Ia malah bersekongkol dengan Inggris. Pada tahun 1879, Taufik mengusir al-Afghani keluar dari Mesir.
Setelah diusir dari Mesir, al-Afghani kembali ke India, tepatnya ke negara bagian Hyderabad yang mayoritas berpenduduk muslim. Pada masa ini, ia banyak menyelesaikan tulisan-tulisan penting. Di antaranya ia menulis sekumpulan artikel dan risalah yang kemudian dikumpulkan. Dalam edisi bahasa Inggris, tulisan ini terkenal dengan judul The Refutation of the Materialist. Kumpulan tulisan ini ditujukan untuk menyanggah karya Sayyid Ahmad Khan yang pro-Inggris.
Akibat pemberontakan Urabi Pasya (1881-1882), al-Afghani akhirnya meninggalkan India dan pindah ke Paris. Di sana ia mendirikan perkumpulan al-‘Urwah al-Wutsqa yang beranggotakan orang-orang Islam dari India, Mesir, Syria, Afrika Utara, dan lain-lain. Tujuan organisasi ini adalah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Di samping itu, organisasi ini juga menerbitkan majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang gaungnya sampai ke berbagai pelosok negeri muslim, termasuk Indonesia. Dalam menerbitkan majalah al-‘Urwah al-Wutsqa ini, al-Afghani dibantu oleh salah seorang muridnya, Muhammad Abduh, yang juga diusir dari Mesir karena dituduh terlibat dalam pemberontakan Urabi Pasya. Namun sayang, usia majalah ini tidak dapat berlangsung lama. Setelah terbit selama 8 bulan, sebanyak 18 nomor, mulai 13 Maret 1884 sampai 17 Oktober 1884, penerbitan majalah ini diberhentikan secara paksa oleh negara-negara Barat yang saat itu banyak menguasai negeri-negeri muslim
Pada tahun 1889, al-Afghani diundang ke Persia untuk mencari penyelesaian persengketaan antara Rusia dan Persia yang timbul akibat politik pro-Inggris yang dianut Persia waktu itu. Akan tetapi, al-Afghani tidak setuju kepada kebijakan Persia untuk memberikan konsesi kepada Inggris. Akhirnya, al-Afghani berselisih paham dengan Syah Nasir ad-Din. Kemudian, al-Afghani diusir oleh Syah Nasir ad-Din. Pada tahun 1896, Syah dibunuh oleh seorang pengikut al-Afghani.
Pada tahun 1892, al-Afghani pindah ke Istanbul atas undangan Sultan Abdul Hamid. Melihat pengaruh al-Afghani yang demikian luas di berbagai negeri muslim, Sultan Abdul Hamid memerlukan al-Afghani untuk merealisasikan rencana politiknya. Sultan berpikir bahwa bantuan negeri-negeri muslim sangat diperlukan untuk menentang kekuasaan Eropa yang waktu itu kian mendesak eksistensi Kerajaan Usmani di Timur Tengah. Akan tetapi, kerja sama antara al-Afghani yang berpikiran maju dan demokratis dengan Sultan Abdul Hamid yang masih mempertahankan kekuasaan otokrasi tidak dapat berlangsung lama. Karena takut akan pengaruh al-Afghani yang semakin besar, akhirnya Sultan mulai membatasi gerak-gerik al-Afghani. Al-Afghani tidak dapat keluar dari Istanbul sampai akhirnya ia meninggal karena kanker pada tahun 1897.
Melihat sepak terjang Jamaluddin al-Afghani di atas, sebenarnya Jamaluddin al-Afghani lebih pantas disebut sebagai pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir pembaruan/reformasi Islam. Akan tetapi, menurut Harun Nasution, aktivitas politik Jamaluddin al-Afghani didasarkan pada ide-ide brilian tentang pembaruan dalam Islam. Dengan demikian, ia adalah pemimpin pembaruan/reformasi Islam sekaligus pemimpin politik. Di antara karya tulis Jamaluddin al-Afghani adalah Baab maa Ya’uulu ilaihi Amr al-Muslimiin, Makiidah asy-Syarqiyyah, Risaalah fii ar-Radd ‘alaa al-Masiihiyyiin, Diyaa’ al-Khaafiqain, Haqiiqah al-Insaan wa Haqiiqah al-Wathan, dan ar-Radd ‘alaa ad-Dahriyyiin.
2.  Hasyim Asy’ari
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871. Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama. Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.  K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI. Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura. K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.
C. Pemikiran Pendidikan Jamaluddin al-Afghani dan Hasyim Asy’ari
Pembaruan atau reformasi Islam yang digagas oleh Jamaluddin al-Afghani didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah ajaran yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan semua keadaan. Demi terlaksananya ajaran Islam di berbagai tempat dan zaman tersebut, diperlukan interpretasi baru terhadap ajaran Islam sebagaimana yang tersurat dalam Al-Qur’an dan hadis. Proses reinterpretasi ini membutuhkan ijtihad. Dengan demikian, menurut al-Afghani, pintu ijtihad selalu terbuka. Dalam melakukan penafsiran ulang terhadap Al-Qur’an dan hadis ini, al-Afghani menekankan pentingnya akal. Menurutnya, dengan melakukan penafsiran ulang terhadap Al-Qur’an dan hadis secara rasional, Islam akan menjadi dasar bagi sebuah masyarakat yang ilmiah modern, sebagaimana pernah menjadi dasar masyarakat muslim pada zaman keemasan Islam.
Selanjutnya, al-Afghani juga berpendapat bahwa jika dapat dipahami secara rasional, Islam sesungguhnya adalah sebuah keyakinan yang dinamis, karena Islam mendorong sikap aktif, yakni sikap bertanggung jawab terhadap urusan dunia. Sikap inilah yang menurut al-Afghani akan membantu proses kebangkitan umat Islam menuju kejayaan politik dan kultural.Menanggapi kemunduran yang melanda umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan, al-Afghani berpendapat bahwa faktor penyebabnya bukan karena ajaran Islam tidak sesuai dengan tuntutan zaman, tetapi karena umat Islam terpengaruh oleh ajaran yang datang dari luar Islam. Di samping itu, umat Islam juga mundur karena salah dalam mengartikan hadis yang menyatakan bahwa di akhir zaman nanti umat Islam akan mengalami kemunduran. Akibat berpegang pada pengertian salah ini, umat Islam menjadi statis dan pasrah terhadap nasib.
Sebab lain kemunduran umat Islam adalah perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam, pemerintahan negeri-negeri muslim yang absolut, para pemimpin yang tidak amanah, rapuhnya kekuatan militer, sistem administrasi yang buruk, intervensi asing lewat kolonialisme, dan lemahnya rasa persaudaraan di kalangan umat Islam. Inilah beberapa faktor yang menyebabkan umat Islam terpuruk dalam lembah kemunduran dan keterbelakangan.
Dalam menanggapi situasi memprihatinkan ini, al-Afghani menawarkan tiga langkah strategis. Pertama, umat Islam harus melenyapkan pola pikir dan paradigma salah kaprah yang dianut selama ini. Caranya adalah dengan kembali kepada ajaran dasar Islam yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan hadis. Kedua, corak pemerintahan otokrasi yang dianut oleh umat Islam selama ini harus diubah dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Menurut al-Afghani, Islam menghendaki sistem pemerintahan republik yang di dalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala negara untuk tunduk kepada undang-undang. Ketiga, persatuan umat Islam perlu digalakan kembali. Sebab, dengan persatuan inilah umat Islam akan bangkit kembali meraih kemajuan. Demi mewujudkan persatuan seluruh umat Islam, al-Afghani mencetuskan gagasan Pan-Islam. Pan-Islam merupakan respons al-Afghani terhadap kekuasaan Inggris di Mesir dan dominasi Eropa atas dunia Islam pada umumnya. Tetapi sayang, usaha al-Afghani ini tidak membuahkan hasil gemilang.
Inilah beberapa pemikiran reformasi Islam yang dicetuskan oleh al-Afghani. Walaupun hasilnya jauh dari yang diharapkan, tetapi pemikiran al-Afghani banyak memengaruhi para pemimpin umat Islam dan menjadi amunisi ampuh bagi gerakan pembaruan Islam di berbagai negeri muslim, termasuk di Indonesia.
Berikut ini adalah peta pikiran Jamaluddin al-Afghani tentang reformasi Islam.
No.    Aspek Pemikiran    Bentuk Pemikiran
1    Kerangka teori    Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan.
2    Metodologi    Reinterpretasi ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah melalui konsep ijtihad yang sesuai dengan akal.
3    Dipengaruhi oleh    Kondisi terpuruk umat Islam akibat kolonialisme Barat.
4    Konsep reformasi Islam    -    Melenyapkan pola pikir yang salah  terhadap ajaran Islam, yakni kembali kepada ajaran dasar Islam (Al-Qur’an dan hadis).   -    Mengganti sistem pemerintahan otokrasi dengan sistem pemerintahan demokratis.
-    Menggagas Pan-Islam, yakni persatuan seluruh umat Islam.
5    Contribution of knowledge    -    Menafsirkan ulang Al-Qur’an dan hadis dengan cara yang modernis dan liberal. 
-    Membuka kembali pintu ijtihad.
           
Untuk menuangkan pemikirannya tentang pendidikan islam, KH. Hasyim Asy’ari telah merangkum sebuah kitab karangannya yang berjudul “Muta’allim Fima Yahtaj Ilah Al-Muta’alim Fi Ahual Muta’allum Wa Yataqaff Al-Mu’allim Fi Maqamat Ta’limah” . Dalam kitab tersebut beliau merangkum pemikirannya tentang pendidikan Islam kedalam delapan poin, yaitu :
1.    Keutamaan ilmu dan keutamaan belajar mengajar
2.    Etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar
3.    Etika seorang murid kepada guru
4.    Etika seorang murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomi berasama guru
5.    Etika yang harus dipedomi seorang guru
6.    Etika guru ketika dan akan mengajar
7.    Etika guru terhadap murid-murid nya
8.    Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang berkaitannya dengannya.

            Dari delapan pokok pemikiran di atas, Hasyim Asy’ari membaginya kembali kedalam tiga kelompok, yaitu :
1.    Signifikansi Pendidikan
2.    Tugas dan tanggung jawab seorang murid
3.    Tugas dan tanggung jawab seorang guru.
Pada dasarnya, ketiga kelompok pemikiran tersebut adalah hasil integralisasi dari delapan pokok pendidikan yang dituangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari.

1. Sigifikansi Pendidikan

            Dalam membahas masalah ini, KH.Hasyim Asy’ari mengorientasikan pendapatnya berdasarkan alwur’an dan Al-Hadits. Sebagai contohnya ialah beliau mengambil pemikiran pendidikan tentang keutamaan menuntut ilmu dan keutamaan bagi yang menuntut ilmu dari surat Al-Mujadilah ayat 11 yang kemudian beliau uraikan secara singkat dan jelas. Misalnya beliau menyebutkan bahwa keutamaan yang paling utama dalam menuntut ilmu adalah mengamalkan apa yang telah dituntut. Secara langsung beliau akan menjelaskan maksud dari perkataan itu, yaitu agar seseorang tidak melupakan ilmu yang telah dimilikinya dan bermanfaat bagi kehidupannya di akherat kelak.
            KH. Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa dalam menuntut ilmu harus memperhatikan dua hal pokok selain dari keimanan dan tauhid. Dua hal pokok tersebut adalah :
1.    bagi seorang peserta didik hendaknya ia memiliki niat yang suci untuk menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan jangan melecehkan atau menyepelekannya
2.     bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu tidak semata-mata hanya mengharapkan materi, disamping itu hendaknya apa yang diajarkan sesuai dengan apa yang diperbuat.
             Hasyim Asy’ari juga menekankan bahwa belajar bukanlah semata-mata hanya untuk menghilangkan kebodohan, namun untuk mencari ridho Allah yang mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat. Kareba itu hendaknya belajar diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai islam bukan hanya semata-mata menjadi alat penyebrangan untuk mendapatkan meteri yang berlimpah.

2. Tugas dan Tanggung Jawab Murid

            Murid sebagai peserta didik memiliki tugas dan tanggung jawab berupa etika dalam menuntut ilmu, yaitu :
1.    Etika  yang harus diperhatikan dalam belajar
Dalam hal ini Hasyim Asy’ari mengungkapkan ada sepuluh etika yang harus dipebuhi oleh peserta didik atau murid, yaitu :
1.    membersihkan hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian
2.    membersihkan niat
3.    tidak menunda-nunda kesempatan belajar
4.    bersabar dan qonaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan
5.    pandai mengatur waktu
6.    menyederhanakan makan dan minum
7.    bersikap hati-hati atau wara’
8.    menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan yang pada akhirnya menimbulkan kebodohan
9.    menyediakan waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
10.  meninggalkan kurang faedah (hal-hal yang kurang berguna bagi perkembangan diri). Dalam hal ini tidak dibenarkan ketika seorang yang menuntut ilmu hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat rohaniah atau duniawiah saja, karena keduanya adalah penting.

3. Tugas dan Tanggung Jawab Guru

            Dalam dunia pendidikan tidak hanya seorang murid yang memiliki tanggung jawab. Namun seorang guru juga memiliki tanggung jawab yang hampir serupa dengan murid, yaitu :
1.    Etika Seorang Guru
Seorang guru dalam menyampaikan ilmu pada peserta didik harus memiliki etika sebagai berikut :
1.    selalu mendekatkan diri kepada Allah
2.    senantiasa takut kepada Allah
3.    senantiasa bersikap tenang
4.    senantiasa berhati-hati
5.    senantiasa tawadhu’ dan khusu’
6.    mengadukan segala persoalannya kepada Allah SWT
7.    tidak menggunakan ilmunya untuk keduniawian saja
8.    tidak selalu memanjakan anak didik
9.    berlaku zuhud dalam kehidupan dunia
10.    menghindari berusaha dalam hal-hal yang rendah
11.    menghindari tempat-tempat yang kotor atau maksiat
12.    mengamalkan sunnah nabi
13.    mengistiqomahkan membaca al-qur’an
14.    bersikap ramah, ceria, dan suka menebarkan salam
15.     membersihkan diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah
16.    menumbuhkan semangat untuk mengembangkan dan menambah ilmu pengetahuan
17.    tidak menyalahgunakan ilmu dengan menyombongkannya
18.    dan membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.

Dalam pembahasan ini ada satu hal yang sangat menarik, yaitu tentang poin yang terakhir guru harus rajin menulis, mengarang dan meringkas. Hal ini masih sangat jarang dijumpai, ini juga merupakan menjadi salah satu faktor mengapa masih sangat sulit dijumpai karya-karya ilmiah. Padahal dengan adanya guru yang selalu menulis, mengarang dan merangkum, ilmu yang dia miliki akan terabadikan.
1.    Etika Guru dalam mengajar
Seorang guru ketika mengajar dan hendak mengajar hendaknya memperhatikan etika-etika berikut :
a.    mensucikan diri dari hadats dan kotoran
b.    berpakaian yang sopan dan rapi serta berusaha berbau wewangian
c.    berniat beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu
d.    menyampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah (walaupun hanya sedikit)
e.    membiasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan
f.    memberikan salam ketika masuk kedalam kelas
g.    sebelum belajar berdo’alah untuk para ahli ilmu yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita
h.    berpenampilan yang kalem dan menghindarkan hal-hal yang tidak pantas dipandang mata
i.    menghindarkan diri dari gurauan dan banyak tertawa
j.    jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, makan, marah, mengantuk, dan lain sebagainya
k.    hendaknya mengambil tempat duduk yang strategis
l.    usahakan berpenampilan ramah, tegas, lugas dan tidak sombong
m.    dalam mengajar hendaknya mendahulukan materi yang penting dan disesuaikan dengan profesionalisme yang dimiliki
n.    jangan mengajarkan hal-hal yang bersifat subhat yang dapat menyesatkan
o.    perhatikan msing-masing kemampuan murid dalam meperhatikan dan jangan mengajar terlalu lama
p.    menciptakan ketengan dalam belajar
q.    menegur dengan lemah lembut dan baik ketika terdapat murid yang bandel
r.    bersikap terbuka dengan berbagai persoalan yang ditemukan
s.    berilah kesempatan pada murid yang datang terlambat dan ulangilah penjelasannya agar mudah dipahami apa yang dimaksud
t.    dan apabila sudah selesai berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti.

Dari pemikiran yang ditawarkan oleh hasyim asy’ari tersebut, terlihatlah bahwa pemikirannya tentang etika guru dalam mengajar ini sesuai dengan apa yang beliau dan kita alami selama ini. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang beliau fikirkan adalah bersifat fragmatis atau berdasarkan pengalaman. Sehingga hal inilah yang memberikan nilai tambah begi pemikirannya.
1.    Etika Guru Bersama Murid
Guru dan murid pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang berbeda, namun terkadang seorang guru dan murid mempunyai tanggung jawab yang sama, diantara etika tersebut adalah :
a.    berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at islam
b.    menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian
c.    hendaknya selalu melakukan instropeksi diri
d.    menggunakan metode yang sudah dipahami murid
e.    membangkitkan semangat murid dengan memotivasinya, begitu murid yang satu dengan yang lain
f.    memberikan latihan – latihan yang bersifat membantu
g.    selalu memperhatikan kemapuan peserta didik yang lain
h.    bersikap terbuka dan lapang dada
i.    membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik
j.    tunjukkan sikap yang arif dan tawadhu’ kepada peserta didik yang satu dengan yang lain.
Bila sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda, maka setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru dan murid juga memiliki tugas yang serupa seperti tersebut di atas. Ini mengindikasikan bahwa pemikiran Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik dan guru, namun juga keasamaan yang dimiliki dan yang harus dijalani. Hal ini pulalah yang memberikan indikasi nilai utama yang lebih pada hasil pemikirannya.
E. Penutup
Sudah satu abad lebih gagasan pembaruan dan reformasi Islam dicetuskan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Akan tetapi, kondisi umat Islam masih belum berubah. Kemunduran, kebodohan, bahkan cengkeraman kolonialisme dengan wajah baru masih menyelimuti tubuh umat Islam. Hal ini bukan berarti gerakan reformasi Islam yang digagas kedua tokoh pembaru ini tidak berhasil. Dalam beberapa hal memang sudah membuahkan hasil, tetapi belum tuntas. Maka, sudah semestinya generasi selanjutnya meneruskan langkah yang sudah digagas oleh al-Afghani dan Abduh ini. Melanjutkan gagasan al-Afghani dan Hasyim Asy’ari bukan berarti mengambilnya secara persis. Zaman sudah berbeda, situasi dan kondisi yang dihadapi pun sudah berubah. Adalah langkah bijak jika gagasan besar tersebut diambil semangatnya untuk kemudian diselaraskan dengan konteks masa kini. Tentu hal ini dengan tetap mengacu pada tujuan awal reformasi Islam, yakni mengangkat derajat umat dan membawanya kepada gerbang kemajuan.  
DAFTAR PUSTAKA

Esposito, John L. (ed.). Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, terj. Eva Y.N., dkk. Bandung: Mizan, 2001.
Haroen, Nasrun (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.
Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 2001.
“Jamaluddin al-Afghani: Penentang Imperialisme Barat”, dalam Republika, edisi Kamis, 6 Agustus 2009.
Keddie, Nikki R. “Sayyid Jamaluddin al-Afghani”, dalam Ali Rahnema (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1996.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron A. Mas’adi, Bagian Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.
Nurdin, Muh. Hermawan Ibnu. “Pemikiran Politik Islam Jamaluddin al-Afghani”, dalam www.klipingpilihanku.blogspot.com, 17 November 2009.,
Sanaky, Hujair A. “Dinamika Gerakan Kebangkitan Islam”, dalam www.sanaki.com, 17 November 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar